POTENSI DAN KERAGAMAN SUMBERDAYA GENETIK
SAPI BALI
EKO HANDIWIRAWAN1 dan SUBANDRIYO2
1Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Jl. Raya Pajajaran Kav E-59, Bogor 16151
2Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRAK
komposisi genetik sapi persilangan yang ideal agar dapat berproduksi optimal sesuai dengan kondisi lingkungan setempat.
Tempat dimulainya domestikasi sapi Bali masih terdapat perbedaan pendapat, dimana MEIJER (1962) berpendapat proses domestikasi terjadi di Jawa, namun PAYNE dan ROLLINSON (1973) menduga agaknya asal mula sapi Bali adalah dari Pulau Bali mengingat tempat ini merupakan pusat distribusi sapi Bali di Indonesia. NOZAWA (1979) menduga gen asli sapi Bali berasal dari Pulau Bali yang kemudian menyebar luas ke daerah Asia Tenggara, dengan kata lain bahwa pusat gen sapi Bali adalah di Pulau Bali, di samping pusat gen sapi zebu di India dan pusat gen primigenius di Eropa. Penyebaran sapi Bali di Indonesia dimulai pada tahun 1890 dengan adanya pengiriman ke Sulawesi, pengiriman selanjutnya dilakukan pada tahun 1920 dan 1927 (HERWEIJER, 1950). Kemudian pada sekitar tahun 1947 dilakukan pengiriman besar-besaran sapi Bali oleh pemerintah Belanda ke Sulawesi Selatan yang langsung didistribusikan kepada petani (PANE, 1991). Sejak saat itu, populasi sapi Bali berkembang dengan cepat sehingga sampai saat ini Propinsi Sulawesi Selatan menjadi propinsi yang memiliki sapi Bali dengan jumlah terbesar di Indonesia. Untuk penyebaran sapi Bali ke Lombok mulai dilakukan pada abad ke-19 yang dibawa oleh raja-raja pada zaman itu (HARDJOSUBROTO dan ASTUTI, 1993), dan sampai ke Pulau Timor antara tahun 1912 dan 1920 (HERWEIJER, 1950). Penyebaran sapi Bali ke banyak wilayah di Indonesia kemudian dilakukan sejak tahun 1962 (HARDJOSUBROTO dan ASTUTI, 1993) dan saat ini telah menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Tidak hanya di wilayah Indonesia, sapi Bali juga telah disebarkan ke berbagai negara. Tercatat sapi Bali telah diintroduksikan ke Semenanjung Cobourg di Australia Utara di antara tahun 1827 dan 1849. Pernah juga dilakukan ekspor secara reguler sapi Bali kastrasi ke Hongkong untuk dipotong. Selain itu, pada masa lalu, sapi Bali juga pernah dikirim ke Philipina, Malaysia dan Hawai (PAYNE dan ROLLINSON, 1973), telah juga dikirimkan ke Texas, USA dan New South Wales, Australia sebagai ternak percobaan (NATIONAL RESEARCH COUNCIL, 1983).
Sejak berjangkitnya penyakit Jembrana tahun 1964 hingga kini, Bali tidak mengeluarkan sapi bibit (terkecuali pejantan IB) dan perannya diambil alih oleh Propinsi NTT, NTB dan Sulawesi Selatan (PANE, 1991). Ditinjau dari sistematika ternak, hubungannya dengan sapi lain dikemukakan HARDJOSUBROTO (1994) bahwa sapi Bali satu famili dengan sapi lain, yaitu famili bovidae, genus bos dan subgenus bibovine. Sapi-sapi yang termasuk ke dalam subgenus bibovine adalah Bibos gaurus, Bibos frontalis dan Bibos sondaicus. Diketahui bahwa perkawinan antara sapi Bali dengan sapi lain yang berbeda subgenus tersebut (Bos taurus dan Bos indicus) menghasilkan anak jantan yang steril. Beberapa kemungkinan penyebabnya adalah keturunan F1 jantan mengalami gangguan synapsis kromosom selama proses meiosis yang mengurangi daya hidup sel germinal dan banyak hambatan fisiologis yang mempengaruhi perkembangan sel germinal (ELDRIDGE, 1985) serta tidak sempurnanya pembelahan reduksi dalam proses spermatogenesis (HARDJOSUBROTO, 1994).
Dewasa sapi Bali induk di Propinsi Bali dan NTB terlihat lebih tinggi dibandingkan yang berada di Propinsi NTT dan Sulawesi Selatan. Bobot badan tersebut tidak jauh berbeda dari yang dilaporkan Pane (1991) bahwa sapi Bali betina dewasa mempunyai bobot badan antara 224-300 kg dengan tinggi sekitar 1,05-1,14 m, sedangkan bobot badan sapi Bali betina terbaik pada pameran ternak tahun 1991 mencapai 300-489 kg dengan tinggi sekitar 1,21-1,27 m (HARDJOSUBROTO, 1994). Sementara itu, sapi Bali jantan dewasa mempunyai bobot antara 337-494 kg dengan tinggi sekitar 1,22-1,30 m PANE (1991), sedangkan bobot badan sapi Bali terbaik pada pameran ternak tahun 1991 mencapai 450-647 kg dengan tinggi sekitar 1,25-1,44 m (HARDJOSUBROTO, 1994).
- Sapi injin adalah sapi Bali yang warna bulu tubuhnya hitam sejak kecil, warna bulu telinga bagian dalam juga hitam, pada yang jantan sekalipun dikebiri tidak terjadi perubahan warna;
- Sapi mores adalah sapi Bali yang semestinya pada bagian bawah tubuh berwarna putih tetapi ada warna hitam atau merah pada bagian bawah tersebut;
- Sapi tutul adalah sapi Bali yang bertutultutul putih pada bagian tubuhnya;
- Sapi bang adalah sapi Bali yang kaos putih pada kakinya berwarna merah;
- Sapi panjut adalah sapi Bali yang ujung ekornya berwarna putih;
- Sapi cundang adalah sapi Bali yang dahinya berwarna putih.
Selain itu, menurut MASUDANA (1990) ada sapi lembu, yaitu sapi yang berwarna putih albino.
Dari 300 sampel pengamatan sapi Bali di Propinsi Bali, HANDIWIRAWAN (2003) mendapatkan sapi Bali yang memiliki warna yang menyimpang dari normal mencapai 17% dan yang terbanyak adalah warna kaos kaki putih tercampur warna merah bata/coklat/hitam atau bagian kaki ini berwarna merah bata/ coklat/hitam. Ditemukan juga sapi Bali yang berwarna tutul dan injin masing-masing sebanyak 0,6 dan 0,3%. Sapi Bali jantan maupun betina mempunyai tanduk, yang berbeda dalam ukuran dan bentuknya dan ada beberapa variasi tipe tanduk pada kedua jenis kelamin tersebut (PAYNE dan ROLLINSON, 1973). Panjang tanduk sapi jantan biasanya 20 sampai 25 cm, bentuk tanduk yang ideal pada sapi jantan disebut bentuk tanduk silak conglok yaitu jalannya pertumbuhan tanduk mula-mula dari dasar sedikit keluar (tumbuh ke arah samping), lalu membengkok ke atas dan kemudian pada ujungnya membengkok sedikit ke arah luar. Pada yang betina, bentuk tanduk yang ideal disebut manggul gangsa yaitu jalannya pertumbuhan tanduk satu garis dengan dahi arah ke atas dan pada ujungnya sedikit mengarah ke belakang dan kemudian melengkung ke bawah lagi mengarah ke kepala (ke dalam). Sapi Bali yang tidak bertanduk tidak pernah ditemukan (PAYNE dan ROLLINSON, 1973; NATIONAL RESEARCH COUNCIL, 1983; HARDJOSUBROTO, 1994). Kepala sapi Bali termasuk panjang tetapi tidak lebar, kedua telinganya tegak dan berukuran sedang (PAYNE dan ROLLINSON, 1973). Terdapat variasi bentuk tanduk pada sapi Bali di Propinsi Bali. Hasil penelitian HANDIWIRAWAN (2003) mendapatkan bahwa pada sapi Bali jantan terdapat 7 macam bentuk tanduk sedangkan pada yang betina diperoleh 12 macam bentuk tanduk. Bentuk tanduk yang umum untuk sapi Bali jantan (seperti didefinisikan PAYNE dan ROLLINSON, 1973; NATIONAL RESEARCH COUNCIL, 1983; HARDJOSUBROTO, 1994) ternyata bukan merupakan bentuk yang umum dimiliki sapi Bali jantan yang teramati. Bentuk tanduk ini hanya dimiliki oleh 6,5% dari sapi Bali jantan yang diamati. Sapi Bali jantan pada umumnya memiliki bentuk tanduk ke samping kemudian ke atas atau ke samping-ke atas kemudian ke belakang, dan proporsi sapi yang bertanduk demikian adalah sebesar 74,5% dari keseluruhan sapi jantan yang diamati. Bentuk umum tanduk sapi Bali betina sesuai dengan Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004 56 bentuk normal yang didefinisikan oleh PAYNE dan ROLLINSON (1973), NATIONAL RESEARCH COUNCIL (1983) dan HARDJOSUBROTO (1994), yaitu mencapai 31,9%. Ditemukan juga bentuk tanduk yang sedikit berbeda dengan bentuk tanduk yang normal dalam jumlah cukup besar (29,3%), yaitu mengarah ke atas dan kemudian ke belakang. Jenis-jenis protein di dalam darah maupun susu dapat menunjukkan polimorfisme dengan menggunakan prosedur elektroforesis, yang merupakan cerminan adanya perbedaan genetis. NAMIKAWA et al. (1982) melaporkan adanya keragaman pada sapi Bali dari hasil pengujian 15 lokus enzim dan protein darah. Pada protein susu juga ditemukan keragaman yaitu untuk protein susu αs1, β dan κ-casein demikian pula untuk β-Lactoglobulin,
sementara itu α-Lactalbumin hanya mempunyai satu macam alel (BELL et al., 1981a; BELL et al., 1981b). DNA mikrosatelit merupakan salah satu penciri genetik DNA yang mempunyai polimorfisme tinggi. WINAYA (2000) yang melakukan penelitian pada 16 lokus DNA mikrosatelit pada sapi Bali dan menemukan keragaman pada sebagian besar lokus DNA mikrosatelit tersebut. Sementara itu, lokus DNA mikrosatelit HEL9 pada sapi Bali adalah monomorfik, sedangkan pada bangsa sapi lain (Madura, PO dan Brangus) adalah polimorfik.
Upaya pelestarian sapi Bali
Perhatian terhadap upaya perbaikan mutu genetik sapi Bali telah dimulai sejak lama. NATIONAL RESEARCH COUNCIL (1983) mencatat bahwa sejak tahun 1913 pemerintah telah menjalankan ketentuan (hukum) yang melarang persilangan pada sapi Bali untuk mempertahankan kemurnian bangsa sapi ini di Bali dan Pulau Sumbawa. Sementara itu, sejak tahun 1942 telah mulai dilaksanakan program seleksi sapi Bali yang baik. Program ini kemudian diubah dan diperbaiki pada tahun 1949, dimana pemilik sapi jantan yang terpilih baik mendapat sejumlah subsidi uang setiap tahun sebagai insentif agar dapat mempertahankan dan terus memperbaiki kualitas sapi miliknya (PAYNE dan ROLLINSON, 1973). Perhatian pemerintah yang lebih besar terhadap upaya pengembangbiakan ternak di Indonesia, selanjutnya diwujudkan dengan dikeluarkannya Undang Undang No. 6 tahun 1967 yang merupakan landasan bagi upaya pengembangbiakan ternak untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu bangsa ternak di Indonesia melalui upaya pemurnian atau melalui persilangan antar bangsa ternak (DJARSANTO, 1997). Khusus untuk sapi Bali, telah ditetapkan program nasional yang meliputi program pemurnian dan peningkatan mutu genetik. Sebagai wilayah peternakan murni sapi Bali ditetapkan Pulau Bali, NTB, NTT dan Sulawesi Selatan. Dimulai pada tahun 1976, di Pulau Bali telah dilaksanakan program pemuliaan sapi Bali dengan melakukan seleksi dalam bangsa, untuk memperoleh bibit sapi Bali yang baik mutunya melalui Proyek Pengembangan dan Pembibitan Sapi Bali (P3Bali) (SOEHADJI, 1990). Sementara itu, persilangan hanya dapat dilakukan di luar wilayah peternakan murni. Dalam perkembangannya di wilayah peternakan murni (sumber bibit) telah terjadi pencemaran genetik sapi Bali dengan bangsa sapi lain (Bos taurus dan zebu), kecuali sapi Bali yang ada di Pulau Bali. Sehubungan dengan itu, daerah di luar Bali yang ditetapkan sebagai daerah pemurnian sapi Bali lebih dipersempit lagi, yaitu Pulau Sumbawa di NTB, Pulau Flores di NTT, Kabupaten Bone di Sulawesi Selatan dan Kabupaten Lampung Selatan di Propinsi Lampung. Walaupun demikian, Pane (1991) mengemukakan bahwa hingga kini hanya sapi Bali yang terdapat di Pulau Bali yang masih dapat dipertanggungjawabkan kemurniannya. Upaya penetapan daerah peternakan murni sekaligus dengan meningkatkan produktivitas sapi Bali melalui kegiatan seleksi secara terencana tentunya akan sangat mendukung program pelestarian plasma nutfah ternak asli tersebut. Pelestarian sapi Bali perlu terus dilakukan dimana kegiatan tersebut harus dipandang sebagai upaya antisipatif penyediaan “bahan baku” bagi perakitan bangsa sapi baru untuk dapat mengantisipasi perubahan selera pasar di masa depan yang tidak mudah untuk diprediksi. Sebagai contoh akhir-akhir ini seiring dengan meningkatnya kesadaran untuk mengkonsumsi pangan sehat dan timbulnya perhatian/pandangan yang negatif terhadap pangan berkolesterol maka terdapat perubahan permintaan pada industri peternakan untuk menghasilkan daging dengan kandungan lemak rendah (lean) dan tentunya dihasilkan dari suatu bangsa ternak tertentu. Melalui program persilangan permintaan pasar tersebut dapat direspon dengan membentuk suatu bangsa baru yang lebih sesuai dengan kondisi lingkungan dan pasar di masa mendatang. Beberapa bangsa sapi terkenal seperti Brangus, Santa Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004 57 Gertrudis, Droughmaster, dan lain-lain merupakan bangsa sapi unggul sebagai hasil persilangan dari beberapa macam bangsa sapi yang masih dipertahankan ada/dilestarikan.
Program pelestarian sapi Bali perlu didukung dengan metode identifikasi kemurnian sapi Bali yang cepat, mudah dan akurat, agar pelestarian sapi Bali pada suatu wilayah tertentu dapat berhasil dilakukan tanpa ada keraguan terhadap kemurniannya. Metode identifikasi kemurnian sapi Bali yang andal juga sangat membantu penentuan pemilihan pejantan sapi Bali sebagai pejantan yang dipergunakan di Balai Inseminasi Buatan sehingga pencemaran genetik pada wilayah yang ditentukan sebagai tempat pelestarian sapi Bali murni dapat dihindari. Serangkaian penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi penciri genetik sapi Bali yang diharapkan dapat dipergunakan sebagai metode untuk menentukan kemurnian sapi Bali. Tim Peneliti Fapet IPB dan BIB Singosari (2000) telah merintis untuk mulai mencari sifat fisik/fenotip (struktur bulu) maupun dari aspek molekuler (protein darah dan DNA mikrosatelit) yang dapat dipergunakan sebagai penciri bangsa sapi Bali. Walaupun sulit dijustifikasi, terdapat perbedaan struktur bulu rambut sapi Bali dengan struktur bulu bangsa sapi lainnya (Simental Limousin dan Brangus). Namun hasil penelitian ini perlu diuji lagi di lapangan khususnya dalam penurunan alel dari tetua ke progeninya. Hasil pengamatan pada lokus Haemoglobin β menunjukkan bahwa alel haemoglobin βX (Hb βX) adalah khas dan mirip seperti yang dilaporkan Namikawa et al. (1982b) bahwa alel haemoglobin βX (Hb βX) adalah alel yang paling umum ditemukan pada sapi Bali dan pada banteng sebagai leluhur dari sapi Bali. Dari hasil penelitian pada empat bangsa sapi dengan sampel yang terbatas, WINAYA (2000) mengemukakan bahwa lokus DNA mikrosatelit HEL9 pada sapi Bali adalah monomorfik, sedangkan pada bangsa sapi lain (Madura, PO dan Brangus) adalah polimorfik. Hasil penelitian Tim Peneliti Fapet IPB dan BIB Singosari (2000) dengan sampel terbatas pada tiga bangsa sapi lainnya (Simmental, Brangus, dan Limousin) memperkuat hasil penelitian tersebut. Selain itu diperoleh juga hasil bahwa lokus DNA mikrosatelit INRA035 pada seluruh sampel sapi Bali yang diteliti konsisten mempunyai dua alel sehingga kemungkinan dapat dipergunakan sebagai penciri genetik untuk sapi Bali. Handiwirawan (2003) melakukan pengujian lokus DNA mikrosatelit HEL9 dan INRA035 dalam sampel yang lebih besar pada sapi Bali di Propinsi Bali. Hasil identifikasi genotipe sapi Bali dan genotipe banteng sebagai pembanding menunjukkan bahwa alel A dan alel B merupakan alel yang monomorfik pada lokus mikrosatelit INRA035 pada sapi Bali sehingga dapat digunakan sebagai penciri genetik sapi Bali. Alel A pada lokus mikrosatelit HEL9 merupakan alel dengan frekuensi yang sangat tinggi pada sapi Bali (92,9%) yang dapat dipergunakan sebagai penciri genetik pendukung pada sapi Bali karena semua banteng yang diuji juga memiliki alel tersebut. Dari beberapa hasil penelitin tersebut penggunaan lokus mikrosatelit INRA035 sebagai penciri genetik sapi Bali dapat digunakan, namun sebaiknya dikombinasikan dengan pengujian lokus HEL9 dan identifikasi fenotipe (pola warna tubuh, bentuk tanduk dan struktur bulu) agar diperoleh hasil yang lebih akurat.
Perbaikan mutu genetik sapi Bali
Program pemuliaan khusus untuk sapi Bali telah ditetapkan dan dijalankan pemerintah. Pokok-pokok pemuliaan sapi Bali seperti dikemukakan SOEHADJI (1990) adalah meliputi:
1. Menjalankan peternakan murni sapi Bali di Pulau Bali, NTB, Pulau Timor dan beberapa daerah di Sulawesi Selatan sebagai sumber bibit sapi Bali secara nasional,
2. Melakukan uji performans dan uji zuriat di breeding centre P3Bali Pulukan Bali untuk memperoleh pejantan sapi Bali unggul yang digunakan untuk kawin alam atau produksi semen beku,
3. Membentuk populasi dasar sebagai sumber gen yang unggul dan membentuk kelompok sapi Bali betina unggul dan dipelihara di Pusat Pembibitan Sapi Bali di Pulukan, Bali dan Anamina, Dompu-Sumbawa,
4. Melakukan inseminasi buatan berskala nasional untuk mempercepat aliran gen yang unggul dari pejantan sapi Bali unggul. Proyek Pembibitan dan Pengembangan Sapi Bali (P3Bali) dilaksanakan sebagai upaya untuk memperbaiki mutu genetik sapi Bali di Propinsi Bali melalui seleksi, uji performans dan uji keturunan (progeny test).
Dalam kegiatan ini, pejantan elit yang dihasilkan dari uji keturunan akan dipergunakan BIB untuk Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004 58 diambil semennya guna memperbaiki mutu genetik sapi Bali di seluruh Indonesia. Dari kegiatan ini terlihat bahwa performans produksi dan reproduksi sapi Bali di P3Bali dilaporkan lebih baik dibandingkan sapi Bali yang terdapat di Propinsi Bali, NTB, NTT dan Sulsel (PANE, 1990). SUKMASARI (2001) dengan menggunakan metode BLUP (best linear unbiased prediction) mendapatkan hasil bahwa sapi Bali yang dipelihara di breeding center Pulukan mempunyai rataan nilai pemuliaan dugaan lebih tinggi dibandingkan di instalasi populasi dasar (Marga, Baturiti, Selemadeg, Penebel). Namun demikian kecenderungan genetik yang merupakan perubahan rataan nilai pemuliaan dari suatu populasi dalam waktu tertentu untuk bobot sapih dan bobot setahun didapati menurun dengan kemiringan berturut-turut –0,60 dan – 0,30, sedangkan kecenderungan genetik pertambahan bobot badan harian pascasapih meningkat dengan kemiringan 1,74 (analisa data dari 1991-2000). Secara keseluruhan, mulai tahun 1983 sampai 1999 kecenderungan genetik sapi Bali di P3 Bali mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Dari hasil penelitiannya tersebut, SUKMASARI (2003) juga menyarankan bahwa seleksi agar didasarkan pada nilai pemuliaan agar seleksi dapat dilakukan lebih akurat sehingga kecenderungan genetik sapi Bali di P3 Bali terus meningkat. Di luar wilayah pemurnian (Propinsi Bali) kebijakan pemerintah untuk melakukan persilangan melalui IB dapat dilakukan dengan bangsa sapi lain. Sejak diperkenalkannya teknologi IB, persilangan dengan semen-semen Bos taurus dan Bos indicus banyak dilakukan, termasuk pada sapi Bali di daerah-daerah kantong bibit (NTT, NTB dan Sulsel). Jika dikaitkan dengan kerentanan sapi Bali terhadap penyakit Jembrana dan MCF, program persilangan berdampak positif terhadap kasus serangan penyakit tersebut. Sapi hasil persilangan memiliki ketahanan yang lebih tinggi terhadap penyakit tersebut karena pewarisan gen sapi Bos taurus, dan dengan demikian wilayah pengembangan sapi persilangan ini dapat lebih luas. Di wilayah kantong bibit, berdasarkan pengalamannya peternak memiliki kesukaan pada bangsa-bangsa tertentu dan memilih semen-semen dari bangsa tersebut untuk dipergunakan dalam IB, seperti Simmental, Limousin, Hereford dan Brangus. Tidak jarang anak betina hasil persilangan di-IB dengan bangsa sapi yang sama kembali dan demikian seterusnya sehingga komposisi genetik sapi Bos taurus menjadi terus meningkat. Tindakan yang demikian dipastikan akan menurunkan kemampuan adaptasi sapi hasil persilangan tersebut pada lingkungan yang keras sehingga produktivitasnya menjadi menurun. Sampai saat ini pada wilayah-wilayah tersebut banyak terbentuk keturunan sapi Bali dengan komposisi genetik yang tidak jelas. Evaluasi terhadap persilangan pada sapi Bali nampaknya perlu dilakukan untuk menentukan komposisi genetik sapi persilangan yang sesuai dengan kondisi lingkungan dimana sapi tersebut dikembangkan. Seiring dengan berjalannya Otonomi Daerah maka masingmasing wilayah dengan kondisi lingkungan yang berbeda akan mempunyai program persilangan untuk menghasilkan sapi yang cocok dengan sistem usaha dan kemampuan sumberdaya alamnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Beberapa kelebihan yang dimiliki sapi Bali, seperti mempunyai fertilitas dan persentase karkas yang tinggi, kadar lemak daging yang rendah, dan mampu memanfaatkan pakan berkualitas rendah, serta memberikan respon cukup baik dalam perbaikan pakan, menunjukkan bahwa sapi bali berpotensi dan cocok untuk dikembangkan pada kondisi lapang di Indonesia pada umumnya. Pelestarian sapi Bali sangat penting dilakukan mengingat potensi besar yang dimilikinya untuk dipergunakan sebagai “bahan baku” pembentukan bangsa sapi baru untuk saat ini dan di masa depan dalam mengantisipasi permintaan pasar yang terkadang sukar untuk
diprediksi. Perbaikan mutu genetik melalui seleksi di wilayah peternakan murni dan persilangan dengan Bos taurus di kantongkantong sumber bibit mampu memperlihatkan perbaikan produktivitas. Program persilangan untuk sapi Bali yang saat ini dilakukan perlu dibuat lebih jelas arahnya agar produksinya dapat lebih optimal.
DAFTAR PUSTAKA
AMRIL, M. A., S. RASJID dan S. HASAN. 1990.Rumput lapangan dan jerami padi amoniasi
urea sebagai sumber hijauan dalam
penggemukan sapi Bali jantan dengan
makanan penguat. Pros. Seminar Nasional
Sapi Bali. 20-22 September 1990. Fakultas
Peternakan Universitas Udayana. Denpasar.
ARKA, I.B. 1984. Pengaruh Penggemukan terhadap
Kualitas Daging dan Karkas pada sapi Bali.
Disertasi. Universitas Pajajaran, Bandung.
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
59