Custom Search
anatomy - histology - veterinary - cells - biotechnology

PENGARUH PEMBERIAN SUSU BERKALSIUM TINGGI TERHADAP KADAR KALSIUM DARAH DAN KEPADATAN TULANG

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis perbedaan pengaruh pemberian susu berkalsium tinggi dan susu segar pada kadar kalsium darah dan kepadatan tulang remaja pria. Kepadatan tulang yang diukur meliputi kepadatan tulang pinggang, punggung, kepala, lengan, rusuk, panggul dan kaki.
Penelitian dilaksanakan bertempat di Asrama Putra TPB IPB. Analisis darah dilakukan di Laboratorium SEAMEO TROPMED FK-UI Jakarta dan Laboratorium PMI Bogor, sedangkan pengukuran kepadatan tulang dilakukan di Unit Densitometry Klinik Teratai RSCM Jakarta. Kepadatan tulang yang diukur meliputi tulang bagian pinggang, punggung, kepala, lengan, rusuk, panggul dan kaki. Unit percobaan yang digunakan sebanyak 55 orang mahasiswa putra TPB IPB berusia 17 – 19 tahun dan mempunyai IMT < 18,5.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Tersarang yaitu volume susu tersarang dalan jenis susu. Penelitian ini terdiri dari 2 faktor yaitu jenis susu dengan dua taraf dan volume susu dengan tiga taraf. Masing-masing jenis susu (susu berkalsium tinggi, susu segar) diberikan dalam beberapa taraf volume (porsi) pemberian yaitu 250 ml , 500 ml dan 750 ml selama 16 minggu (4 bulan). Selain faktor jenis dan volume susu, faktor lain yang dianggap sebagai faktor penggangu (confounding factor) yang diukur adalah kadar kalsium dan kepadatan tulang awal, aktivitas olahraga dan tingkat konsumsi energi zat gizi (protein, kalsium, fosfor, besi, vitamin D dan vitamin C).

Oleh:
SURYONO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

COVER
Prakata
Ringkasan

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Susu adalah bahan pangan yang dikenal kaya akan zat gizi yang diperlukan oleh tubuh manusia. Konsumsi susu pada saat remaja terutama dimaksudkan untuk memperkuat tulang sehingga tulang lebih padat, tidak rapuh dan tidak mudah terkena risiko osteoporosis pada saat usia lanjut. Agar tulang menjadi kuat, diperlukan asupan zat gizi yang cukup terutama kalsium. Kalsium merupakan zat utama yang diperlukan dalam pembentukan tulang, dan zat gizi ini antara lain dapat diperoleh dari susu. Pada susu juga terkandung zat-zat gizi yang berperan dalam pembentukan tulang seperti protein, fosfor, vitamin D, vitamin C dan besi. Selain zat-zat gizi tersebut, susu juga masih mengandung zat-zat gizi penting lainnya yang dapat meningkatkan status gizi.
Masalah Penelitian
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA
Konsumsi Pangan dan Kecukupan Gizi
Konsumsi pangan merupakan banyaknya atau jumlah pangan, secara tunggal maupun beragam, yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis. Tujuan fisiologis adalah upaya untuk memenuhi keinginan makan (rasa lapar) atau untuk memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. Tujuan psikologis adalah untuk memenuhi kepuasan emosional atau selera, sedangkan tujuan sosiologis adalah untuk memelihara hubungan manusia dalam keluarga dan masyarakat (Sedioetama 1996). Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan gizi yang selanjutnya bertindak menyediakan energi bagi tubuh, mengatur proses metabolisme, memperbaiki jaringan tubuh serta untuk pertumbuhan (Harper et al.1986).
Susu sebagai Sumber Kalsium
Defisiensi dan Kecukupan Kalsium
Mekanisme Pengaturan Kalsium dalam Tubuh
Kalsium dan Kepadatan Tulang
Vitamin D dan Kepadatan Tulang
Vitamin C dan Kepadatan Tulang
Fosfor dan Kepadatan Tulang
Protein dan Kepadatan Tulang
Energi dan Kepadatan Tulang
Zat Besi dan Kepadatan Tulang
Penyakit Osteoporosis
Pola Makan dan Osteoporosis

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
Kerangka Pemikiran
Konsumsi pangan merupakan faktor penentu yang penting dalam menentukan status kepadatan tulang khususnya pada saat pertumbuhan seperti pada masa remaja. Kepadatan tulang akan semakin menurun seiring dengan bertambahnya usia. Menurut Khomsan (2004), status gizi remaja sangat ditentukan oleh pola makannya dalam pencapaian pertumbuhan optimal sesuai kemampuan genetis yang dimilikinya. Pada remaja pria yang memiliki status gizi baik, perawakan tubuh yang optimal dicapai pada saat usia 18-20 tahun.
Hipotesis

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan dengan intervensi pemberian susu selama 4 bulan, bertempat di Asrama Putra Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor (TPB IPB). Pemeriksaan darah dilaksanakan di Laboratorium SEAMEO-TROPMED FK-UI Jakarta dan Laboratorium PMI Bogor. Pemeriksaan kepadatan tulang dilakukan di Klinik Teratai Unit Densitometry RSCM Jakarta.
Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan ”Feeding Program for Needy Students” kerjasama SEAFAST Centre dengan Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia dan Departemen Ilmu & Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Desain Penelitian
Bahan Percobaan
Pelaksanaan Penelitian
Analisis Data
Keterbatasan Penelitian
Batasan Operasional

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Unit Percobaan
Karakteristik unit percobaan yang diambil dalam penelitian ini meliputi usia saat mengikuti penelitian, daerah asal dan rata-rata jumlah kiriman uang dari orang tua setiap bulan. Jumlah unit percobaan yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 55 orang. Data-data dari hasil penelitian ini selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Usia
Daerah Asal
Jumlah Uang Kiriman Orang Tua
Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Zat Gizi
Konsumsi Zat Gizi
Tingkat Konsumsi Zat Gizi
Kadar Kalsium Darah
Kepadatan Tulang
Kepadatan Tulang Pinggang
Kepadatan Tulang Punggung
Kepadatan Tulang Kepala
Kepadatan Tulang Lengan
Kepadatan Tulang Rusuk
Kepadatan Tulang Panggul
Kepadatan Tulang Kaki

PEMBAHASAN UMUM
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh jenis susu (susu berkalsium tinggi, susu segar) dan volume susu terhadap kadar kalsium darah dan kepadatan tulang remaja pria. Jenis susu yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis susu komersial yang sudah beredar dan dikonsumsi oleh masyarakat. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang dilakukan di Indonesia.
Tingkat konsumsi zat gizi pada umumnya terjadi peningkatan setelah perlakuan dilakukan. Hal ini karena selain dari makanan sehari-hari yang dikonsumsi, juga karena adanya kontribusi dari susu yang diberikan dan adanya pemberian makanan tambahan. Peningkatan terjadi pada kelompok energi, protein, kalsium dan vitamin D. Pada kelompok vitamin C, sebagian besar masih di bawah normal (<70%) dan pada kelompok zat besi, rataan tingkat konsumsi seluruh kelompok perlakuan juga masih di bawah normal. Kondisi ini dapat terjadi karena susu ataupun makanan tambahan yang diberikan bukan merupakan sumber vitamin C dan zat besi. Peningkatan yang lebih tinggi terdapat pada kelompok protein, kalsium dan vitamin D karena adanya kontribusi yang cukup tinggi dar susu yang diberikan. Hal ini perlu mendapat perhatian, karena kekurangan vitamin C maupun zat besi dalam waktu lama dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga lebih mudah terserang penyakit khususnya yang berhubungan denga tulang.

SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
Pemberian kalsium tinggi berpengaruh sangat nyata (p<0,01)>0,05) terhadap kadar kalsium darah dan kepadatan tulang kepala, lengan, rusuk, panggul dan kaki.
Pemberian susu berkalsium tinggi selama 4 bulan sebanyak 750 ml (diminum 3 X sehari @ 250 ml) menghasilkan kepadatan tulang pinggang dan punggung lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian susu sebanyak 500 ml (diminum 2 X sehari @ 250 ml) dan 250 ml (diminum 1 X sehari @ 250 ml).
Pemberian susu segar tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap kadar kalsium dan kepadatan tulang (pinggang, punggung, kepala, lengan, rusuk, panggul dan kaki).

DAFTAR PUSTAKA

Read more.....

Teknologi Pupuk Mikrob

Teknologi Pupuk Mikrob Multiguna Menunjang Keberlanjutan Sistem Produksi Kedelai

(Technology of Multipurpose Microbial Fertilizer Supporting Sustainable System of Soybean Production)



RASTI SARASWATI

Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Jln. Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111; Tel. 062-251-337975 pes. 224; Faks. 062-251-338820

Multipurpose microbial fertilizer (MPMF) has been developed to increase fertilization efficiency to support sustainable soybean production system. Multipurpose microbial fertilizer can supply a substantial portion of nitrogen and phosphorous which is required by soybean through their symbiotic relationship rhizobia and phosphate dissolving capability, and thus save the us of anorganic fertilizer. Result of the demonstration plot using MPMF in farmer fields showed accordingly that phosphate fertilizer up to 50% from the recommendation dosage.

Key word: microbial fertilizer, inoculant, soybean

Read more.....

Cendawan Mikoriza Arbuskula pada Kacang Tanah dan Kedelai

Pemberian Inokulan Campuran Beberapa Cendawan Mikoriza Arbuskula pada Kacang Tanah dan Kedelai

(The Application of Mixed Arbuscular Mycorrhizal Fungi Inoculant to Peanut and Soybean)



M. RAHMANSYAH & SUCIATMIH

Puslitbang Biologi LIPI, Jln. Ir. Juanda, Bogor 16122 ; Tel. 062-251-324006, Faks. 062-251-325854

Glomus sp.4, as arbuscular mycorrhizal (AM) fungi, was a collection originally gathered from soil in Bogor and had been introduced succesfully to fast-growing legumes of Albizia procera, Paraserianthes falcataria and pterocarpus indicus seedlings. To determine the influence of AM fungi inoculation to the plant growth, the experiment was set up as follow, a. Glomus sp.4 was mixed with G. etunicatum, G. manihotis and G. microagregatum+acaulospora spinosa, and inoculated separately as A, B, and C soil culture inoculant.; b. peanut and soybean were inoculated and planted as pot experiment in mixed medium of soil, compost and sand (2:1:1); c. for controlling treatments the plants were not inoculated and the other one were planted at medium which was amanded with 100g/kg TSP. As plant growth, AM fungi colonies of both plants roots increased. Fungi infection were founded higher in soybean (50-90%) compared to peanut infection (40-70%). Peanut shoot dryweight (15.6 g) and index of seed over shell (1.01) whiwh were harvested 53 days after planting (DAP) showed value as caused by B inoculant. Soybean plants at 45 DAP were significantly different in shoot dry weight (2.08 g) and seed weight plant-1 (4.12 g) compared with control, as caused of C inoculant treatment. Phosphorus content in dry shoot of peanut treated with B inoculant was 0.3%, and soybean which C inoculant was 0.4%.

Key word: inoculant, arbuscular mycorrhizal fungi, peanut, soybean

Read more.....

Jamur Merang

Cendawan Kontaminan Dominan pada Bedengan Jamur Merang dan Interaksinya dengan Jamur Merang secara in vitro

(Dominant Fungi Contaminating the Beds of Rice Straw Mushroom and Their Interaction with Straw Mushroom in vitro)



OKKY SETYAWATI DHARMAPUTRA1,2, AGUSTIN WYDIA GUNAWAN1, RINI WULANDARI1 & TRIADI BASUKI1

1Jurusan Biologi, FMIPA, IPB, Jln. Raya Pajajaran, Bogor 16144
2Seameo Biotrop, Kotak Pos 116, Bogor 16001
3Puslitbang Bioteknologi LIPI, Cibinong 16911

Elevent dominant mesophilic fungal species (Aspergillus flavus, A. fumigatus, Coprinus cinereus, C. patoulardii, Fusarium chlamydosporum, F. semitectum, Fusarium sp.,, Gliocladium penicilloides, Melanopsamma pomiformis, Penicillium citrinum and Trichoderma aureoviride) which contaminated the beds of rice straw mushroom (Volvariella volvaceae) have been isolated using dilution method on Potato Dextrose Agar (PDA) medium. Interaction studies among the mesophilic fungi and the rice straw mushroom were carried out using the direct opposition method in PDA medium. The results showed that the mesophilic fungi were antagonistic to the rice straw mushroom. Visual examination under the microscope showed thet the hyphae of the straw rice mushroom were winded around, lysed and swelled.

Key word: antagonist, mesophylic fungi, Volvariella volvaceae

Read more.....

Proses Fermentasi Biji Lamtoro-Gung

Proses Fermentasi Biji Lamtoro-Gung Dengan Rhyzopus oryzae

(Fermentation Process of Leucaena Seed with Rhyzopus oryzae)



KOMARI

Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi, Jln. Dr. Semeru, Bogor 16122

Fermentation process of leucaena seeds with Rhyzopus oryzae was developed to study biochemical during fermentation process with the emphasis on iron evailability (in vitro). Fermentation significantly increased the solubilities of protein and carbohydrate (soluble sugars). The increas of tannins content of the seeds during fermentation was due to loss of binding capacity between tannins and protein or carbohydrate. The loss was due to the increase in the pH value and the decrease in size of the digested protein and carbohydrate by the activity of enzymes produced by microorganism. Although the detectable tannins in the leucana tempe was higher than that in unfermented seeds, there was no binding effect of tannins with iron. Iron availability of the leucana tempe increased from 1.9% in the cotyledons to 11.6%. This finding showed the benefit effect of fermentation on the iron availability of the tempe.

Key word: fermentation process, leucana seed, Rhyzopus oryzae

Read more.....

Pembiakan Spesimen Urin

Penggunaan "MicurR-BT" sebagai Uji Awal Sebelum Pembiakan Spesimen Urin untuk Isolasi Etiologi Infeksi Saluran Kemih

(MicurR-BT As an Indicator of Antibiotic in the Urine Before Bacterial Isolation in Urinary Tract Infection)



PRATIWI SUDARMONO & TERTIA HUTABARAT

Bagian Mikrobiologi FK UI, Jln. Pegangsaan Timur No. 16, Jakarta 10320, Tel. 062-021-310086, Faks. 062-021-3100810

Urinary tract infection is very common and has a very high indence rate in Indonesia. Usually it cause by bacterial infection, so the diagnostic microbialogy play a very important role in the management of antibiotic therapy. Unfortunately, the patients usually has taken antibiotic before examination. MicurR-BT is a dipstick test to detect the existence of antibiotic in urine. It contains Bacillus subtilis and triphenyl tetra zolium chlorade as color detector. Ninety six urine specimen has been tested before bacterial culture. Fifty four specimen (56%) contain antibiotic in the urine before culture.

Key word: urinary tract infection

Read more.....

Deteksi Virus Dengue Tipe 2 dengan Cara Hibridisasi in situ

Deteksi Virus Dengue Tipe 2 dengan Cara Hibridisasi in situ

(Detection of Tipe 2 Dengue Virus by in situ Hibridization)



MAKSUM RADJI, AMIN SOEBANDRIO, MIRAWATI SUDIRO & PRATIWI SUDARMONO

Bagian Mikrobiologi FK UI, Jln. Pegangsaan Timur No. 16, Jakarta 10320 Tel. 062-021-3100806, Faks. 062-021-3100810, Email: amin0207@rad.net.id

Demonstration of dengue virus (DV) in infected cell wouold enable elaboration of pathogenesis and pathophysiology of dengue Fever and dengue Haemorrhagic Fever. Molecular detection of DV would give high sensitivity as well as specifity. C6/36 mosquito cell line artificially infected with DV was used as a model of DV infected cell. 290-bp cDNA of envelope region of DV type 2 (DV-2) labeled with digoxigenin-11-dUTP was used as probe. Hybridization was performed directly to infected cell fixed on to glass slide (in situ). 10 ng/ul of the probe was able to detect as low as 10x TCID 50 infecting DV-2. The signal produced was not found in negative control and was clearly increasing in infecting viral dose dependent manner. There was no cross reactivity between DV-2 probe and DV-3 and vice versa. The DV-2 probe was sensitive yet specific in demonstrating the presence of DV-2 in infected cell.

Key word: hybridization, digoxygenin (DIG), pathogenesis

Read more.....

Campuran Kapas dan Kelaras Pisang sebagai Media Tanam Jamur Merang

Campuran Kapas dan Kelaras Pisang sebagai Media Tanam Jamur Merang

(Mixture of Cotton Waste and Dried Banana Leaves as the Media for Straw Mushroom Cultivation)



METTY IRAWATI, AGUSTIN WYDIA GUNAWAN & OKKY SETYAWATI DHARMAPUTRA

Laboratorium Mikologi, Jurusan BiologiFMIPA IPB, Jln. Raya Pajajaran, Bogor 16144

In Indonesia straw compost is used as common medium for straw mushroom cultivation, because its high cellulose and hemicellulose content. Never theless, waste cotton derived from textile industry and dried banana leaves can be used for straw mushroom cultivation, because their cellulose and hemicellulose content is also high. Cotton waste and dried banana leaves were composted for 20 days by adding 2% of lime and 8% of rice bran. The compost of cotton waste, dried banana leaves, and mixture of cotton waste and dried banana leaves ratio of 4:1, 3:1, and 1:1 were used as the media for straw mushroom cultivation. Three replications were used for each treatment. The media were pasteurized at about 60oC for two hours, further the temperature was maintained at 50oC for 10 hours. Spawning was carried out when the temperature dropped to 30oC, and then the mushroom house was closed for three days. This condition was necessary for mycelial growth. After that, fresh air was introduced into the house of basidioma formation and development. Harvesting was carried out when the basidioma was at button or egg stage. Mushroom production on the mixture of cotton waste and dried banana leaves at a ratio of 1:1 was not significantly different than cultured on cotton waste only. The production on the other mixture were higher and significantly different than those cultured on cotton waste or banana dried leaves.

Key word: straw mushroom, media for straw mushroom cultivation, cotton waste, dried banana leaves

Read more.....

MAKROSKOPIK, MIKROSKOPIK, URIN

Penilaian Hasil Pemeriksaan Urin

dr. R. Wirawan, dr. S. Immanuel, dr. R. Dharma

Bagian

Patologi Klinik

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSCM,

Jakarta

Sebelum menilai hasil analisa urin, perlu diketahui tentang proses pembentukan urin. Urin merupakan hasil metabolisme tubuh yang dikeluarkan melalui ginjal. Dari 1200 ml darah yang melalui glomeruli permenit akan terbentuk filtrat 120 ml permenit. Filtrat tersebut akan mengalami reabsorpsi, difusi dan ekskresi oleh tubuli ginjal yang akhirnya terbentuk 1 ml urin permenit.

Secara umum dapat dikatakan bahwa pemeriksaan urin selain untuk mengetahui kelainan ginjal dan salurannya juga bertujuan untuk mengetahui kelainan kelainan dipelbagai organ tubuh seperti hati, saluran empedu, pankreas, korteks adrenal, uterus dan lain-lain.


FAKTOR-FAKTOR YANG TURUT MEMPENGARUHI

SUSUNAN URIN

Untuk mendapatkan hasil analisa urin yang baik perlu diperhatikan beberapa faktor antara lain persiapan penderita dan cara pengambilan contoh urin. Beberapa hal perlu diperhatikan dalam persiapan penderita untuk analisa urin misalnya pada pemeriksaan glukosa urin sebaiknya penderita jangan makan zat reduktor seperti vitamin C, karena zat tersebut dapat memberikan hasil positif palsu dengan cara reduksi dan hasil negatif palsu dengan cara enzimatik.

Pada pemeriksaan urobilin, urobilinogen dan bilirubin sebaiknya tidak diberikan obat yang memberi warna pada urin, seperti vitamin B2 (riboflavin), pyridium dan lain

lain.

Pada tes kehamilan dianjurkan agar
mengurangi minum supaya urin menjadi lebih pekat.

Susunan urin tidak banyak berbeda dari hari ke hari, tetapi pada pihak lain mungkin banyak berbeda dari waktu ke waktu sepanjang hari, karena itu penting untuk mengambil contoh urin menurut tujuan pemeriksaan. Untuk pemeriksaan urin seperti pemeriksaan protein, glukosa dan sedimen dapat dipergunakan urin sewaktu , ialah urin yang dikeluarkan pada
waktu yang tidak ditentukan dengan khusus, kadang kadang bila unsur sedimen tidak ditemukan karena urin sewaktu terlalu encer, maka dianjurkan memakai urin pagi. Urin pagi ialah urin yang pertama kali dikeluarkan pada pagi hari, urin ini baik untuk pemeriksaan berat jenis, protein sedimen dan tes kehamilan.

Pada penderita yang sedang haid atau "leucorrhoe" untuk mencegah kontaminasi dianjurkan pengambilan contoh urin dengan cara clean voided specimen yaitu dengan melakukan kateterisasi, punksi suprapubik atau pengambilan urin midstream dimana urin yang pertama keluar tidak ditampung, tapi urin yang keluar kemudian ditampung dan yang terakhir tidak turut ditampung.


PEMERIKSAAN MAKROSKOPIK, MIKROSKOPIK

DAN KIMIA URIN

Dikenal pemeriksaan urin rutin dan lengkap. Yang dimaksud dengan pemeriksaan urin rutin adalah pemeriksaan makroskopik, mikroskopik dan kimia urin yang meliputi pemeriksaan protein dan glukosa. Sedangkan yang dimaksud dengan pemeriksaan urin lengkap adalah pemeriksaan urin rutin yang dilengkapi dengan pemeriksaan benda keton, bilirubin, urobilinogen, darah samar dan nitrit.


PEMERIKSAAN MAKROSKOPIK.

Yang diperiksa adalah volume. warna, kejernihan, berat jenis, bau dan pH urin. Pengukuran volume urin berguna untuk menafsirkan hasil pemeriksaan kuantitatif atau semi kuantitatif suatu zat dalam urin, dan untuk menentukan kelainan dalam keseimbangan cairan badan. Pengukuran volume urin yang dikerjakan bersama dengan berat jenis urin bermanfaat untuk menentukan gangguan faal ginjal. Banyak sekali faktor

yang mempengaruhi volume urin seperti umur, berat badan, jenis kelamin, makanan dan minuman, suhu badan, iklim dan aktivitas orang yang bersangkutan. Rata-rata didaerah tropik volume urin dalam 24 jam antara 800--1300 ml untuk orang dewasa. Bila didapatkan volume urin selama 24 jam.


Lebih dari 2000 ml maka keadaan itu disebut poliuri. Poliuri ini mungkin terjadi pada keadaan fisiologik seperti pemasukan cairan yang berlebihan, nervositas, minuman yang mempunyai efek diuretika. Selain itu poliuri dapat pula disebabkan oleh perubahan patologik seperti diabetes mellitus, diabetes insipidus, hipertensi, pengeluaran cairan dari edema. Bila volume urin selama 24 jam 300--750 ml maka keadaan ini dikatakan oliguri.

Keadaan ini mungkin didapat pada diarrhea, muntah - muntah, deman edema, nefritis menahun. Anuri adalah suatu keadaan dimana jumlah urin selama 24 jam kurang dari 300 ml. Hal ini mungkin dijumpai pada shock dan kegagalan ginjal. Jumlah urin siang 12 jam dalam keadaan normal 2 sampai 4 kali lebih banyak dari urin malam 12 jam. Bila perbandingan tersebut terbalik disebut nokturia, seperti didapat pada diabetes mellitus.


Pemeriksaan terhadap warna urin mempunyai makna karena kadang-kadang dapat menunjukkan kelainan klinik. Warna urin dinyatakan dengan tidak berwarna, kuning muda, kuning, kuning tua, kuning bercampur merah, merah, coklat, hijau, putih susu dan sebagainya. Warna urin dipengaruhi oleh kepekatan urin, obat yang dimakan maupun makanan. Pada umumnya warna ditentukan oleh kepekatan urin, makin banyak diuresa makin muda warna urin itu. Warna normal urin berkisar antara kuning muda dan kuning tua yang disebabkan oleh beberapa macam zat warna seperti urochrom, urobilin dan porphyrin. Bila didapatkan perubahan warna mungkin disebabkan oleh zat warna yang normal ada dalam jumlah besar, seperti urobilin menyebabkan warna coklat. Disamping itu perlu dipertimbangkan kemungkinan adanya zat warna abnormal, seperti hemoglobin yang menyebabkan warna merah dan bilirubin yang menyebabkan warna coklat. Warna urin yang dapat disebabkan oleh jenis makanan atau obat yang diberikan kepada orang sakit seperti obat dirivat fenol yang memberikan warna coklat kehitaman pada urin.


Kejernihan dinyatakan dengan salah satu pendapat sepertijernih, agak keruh, keruh atau sangat keruh. Biasanya urin segar pada orang normal jernih. Kekeruhan ringan disebut

nubeculayangterdiri dari lendir, sel epitel dan leukosit yang lambat laun mengendap. Dapat pula disebabkan oleh urat amorf, fosfat amorf yang mengendap dan bakteri dari botol penampung. Urin yang telah keruh pada waktu dikeluarkan dapat disebabkan

oleh chilus, bakteri, sedimen seperti epitel, leukosit dan eritrosit dalam jumlah banyak.

Pemeriksaan berat jenis urin bertalian dengan faal pemekatan ginjal, dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu dengan memakai falling, drop, gravimetri, menggunakan pikno meter, refraktometer dan reagens pita'. Berat jenis urin sewaktu pada

orang normal antara 1,003 - 1,030. Berat jenis urin herhubungan erat dengan diuresa, makin besar diuresa makin rendah berat jenisnya dan sebaliknya. Makin pekat urin makin

tinggi berat jenisnya, jadi berat jenis bertalian dengan faal pemekat ginjal. Urin sewaktu yang mempunyai berat jenis 1,020 atau lebih, menunjukkan bahwa faal pemekat ginjal baik. Keadaan ini dapat dijumpai pada penderita dengan demam dan dehidrasi. Sedangkan berat jenis urin kurang dari 1,009 dapat disebabkan oleh intake cairan yang berlebihan, hipotermi, alkalosis dan kegagalan ginjal yang menahun.


Untuk menilai bau urin dipakai urin segar, yang perlu diperhatikan adalah bau yang abnormal. Bau urin normal disebabkan oleh asam organik yang mudah menguap. Bau yang berlainan dapat disebabkan oleh makanan seperti jengkol, pate, obat-obatan seperti mentol, bau buah-buahan seperti pada ketonuria. Bau amoniak disebabkan perombakan ureum oleh bakteri dan biasanya terjadi pada urin yang dibiarkan tanpa

pengawet. Adanya urin yang berbau busuk dari semula dapat berasal dari perombakan protein dalam saluran kemih umpamanya pada karsinoma saluran kemih.


Penetapan pH diperlukan pada gangguan keseimbangan asam basa, kerena dapat memberi kesan tentang keadaan dalam badan. pH urin normal berkisar antar 4,5 - 8,0. Selain itu penetapan pH pada infeksi saluran kemih dapat memberi petunjuk ke arah etiologi. Pada infeksi oleh Escherichia coli biasanya urin bereaksi asam, sedangkan pada infeksi dengan kuman Proteus yang dapat merombak ureum menjadi atnoniak akan menyebabkan urin bersifat basa. Dalam pengobatan batu karbonat atau kalsium fosfat urin dipertahankan asam, sedangkan untuk mencegah terbentuknya batu urat atau oksalat pH urin sebaiknya dipertahankan basa.


PEMERIKSAAN MIKROSKOPIK

Yang dimaksud dengan pemeriksaan mikroskopik urin yaitu pemeriksaan sedimen urin. Ini panting untuk mengetahui adanya kelainan pada ginjal dan saluran kemih serta berat ringannya penyakit. Urin yang dipakai ialah urin sewaktu yang segar atau urin yang dikumpulkan dengan pengawet formalin. Pemeriksaan sedimen dilakukan dengan memakai lensa objektif kecil (10X) yang dinamakan lapangan penglihatan kecil atau LPK. Selain itu dipakai lensa objektif besar (40X) yang dinamakan lapangan penglihatan besar atau LPB. Jumlah unsur sedimen bermakna dilaporkan secara semi kuantitatif, yaitu jumlah rata-rata per LPK untuk silinder dan per LPB untuk eritrosit dan leukosit. Unsur sedimen yang kurang bermakna seperti epitel atau kristal cukup dilaporkan dengan +(ada), ++ (banyak) dan +++ (banyak sekali). Lazimnya unsur sedimen dibagi atas dua golongan yaitu unsur organik dan tak organik. Unsur organik berasal dari sesuatu organ atau jaringan antara lain epitel, eritrosit, leukosit, silinder, potongan jaringan, sperma, bakteri, parasit dan yang tak organik tidak berasal dari sesuatu organ atau jaringan .seperti urat amorf dan kristal


Eritrosit atau leukosit didalam sedimen urin mungkin terdapat dalam urin wanita yang haid atau berasal dari saluran kernih. Dalam keadaan normal tidak dijumpai eritrosit dalam sedimen urin, sedangkan leukosit hanya terdapat 0 -- 5/LPK dan pada wanita dapat pula karena kontaminasi dari genitalia. Adanya eritrosit dalam urin disebut hematuria. Hematuria dapat disebabkan oleh perdarahan dalam saluran kemih, seperti infark ginjal, nephrolithiasis, infeksi saluran kemih dan pada penyakit dengan diatesa hemoragik. Terdapatnya leukosit dalam jumlah banyak di urin disebut piuria. Keadaan ini sering dijumpai pada infeksi saluran kemih atau kontaminasi dengan sekret vagina pada penderita dengan fluor lobus.


Silinder adalah endapan protein yang terbentuk didalam tubulus ginjal, mempunyai matrix berupa glikoprotein (protein Tamm Horsfall) dan kadang-kadang dipermukaannya terdapat leukosit, eritrosit dan epitel. Pembentukan silinder dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain osmolalitas, volume,
pH dan adanya glikoprotein yang disekresi oleh tubuli ginjal. Dikenal bermacam-macam silinder yang berhubungan dengan

berat ringannya penyakit ginjal. Banyak peneliti setuju bahwa dalam keadaan normal bisa didapatkan sedikit eritrosit, lekosit dan silinder hialin. Terdapatnya silinder seluler seperti silinder lekosit, silinder eritrosit, silinder epitel dan sunder berbutir selalu menunjukkan penyakit yang serius. Pada pielonefritis dapat dijumpai silinder lekosit dan pada glomerulonefritis akut dapat ditemukan silinder eritrosit. Sedangkan pada penyakit ginjal

yang berjalan lanjut didapat silinder berbutir dan silinder lilin.


Kristal dalam urin tidak ada hubungan
langsung dengan batu didalam saluran kemih. Kristal asam urat, kalsium oksalat, triple fosfat dan bahan amorf merupakan kristal yang sering ditemukan dalam sedimen dan tidak mempunyai arti, karena kristal-kristal itu merupakan hasil metabolisme yang normal. Terdapatnya unsur tersebut tergantung dari jenis makanan, banyak makanan,kecepatan metabolisme dan kepekatan urin. Disamping itu mungkin didapatkan kristal lain yang berasal dari obat-obatan

atau kristal-kristal lain seperti kristal tirosin, kristal leucin.


Epitel merupakan unsur sedimen organik yang dalam keadaan normal didapatkan dalam sedimen urin. Dalam keadaan patologik jumlah epitel ini dapat meningkat, sepe

rti pada infeksi, radang dan batu dalam saluran kemih. Pada sindroma nefrotik

didalam sedimen urin mungkin didapatkan oval fat bodies. Ini merupakan epitel tubuli ginjal yang
telah mengalami degenerasi lemak, dapat dilihat dengan memakai zat warna Sudan III/IV atau diperiksa dengan menggunakan mikroskop polarisasi.


PEMERIKSAAN KIMIA URIN

Disamping cara konvensional, pemeriksaan
kimia urin dapat dilakukan dengan
cara yang lebih sederhana dengan hasil cepat, tepat, specifik dan sensitif yaitu memakai reagens pita. Reagens pita (strip) dari berbagai pabrik telah banyak beredar di

Indonsia. Reagens pita ini dapat dipakai untuk pemeriksaan
pH, protein, glukosa, keton, bilirubin, darah,urobilinogen dan nitrit. Untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang optimum, aktivitas reagens harus dipertahankan, penggunaan haruslah
mengikuti petunjuk dengan tepat; baik mengenai cara penyimpanan, pemakaian
reagnes pita dan bahan pemeriksaan.

Urin dikumpulkan dalam penampung yang bersih dan pemeriksaan baiknya segera dilakukan. Bila pemeriksaan harus ditunda selama lebih dari satu jam, sebaiknya urin tersebut disimpan dulu dalam lemari es, dan bila akan dilakukan pemeriksaan, suhu urin disesuaikan dulu dengan suhu kamar. Agar didapatkan hasil yang optimal pada tes nitrit, hendaknya dipakai urin pagi atau urin yang telah berada dalam bulibuli minimal selama 4 jam. Untuk pemeriksaan bilirubin,urobilinogen dipergunakan urin segar karena zat-zat ini bersifat labil, pada suhu kamar bila kena cahaya. Bila urin dibiarkan pada suhu kamar, bakteri akan berkembang biak yang menyebabkan pH menjadi alkali dan menyebabkan hasil positif palsu untuk protein. Pertumbuhan bakteri karena kontaminasi dapat memberikan basil positif palsu untuk pemeriksaan darah samar dalam urin karena terbentuknya peroksidase dari bakteri.

Reagens pita untuk pemeriksaan protein lebih peka terhadap albumin dibandingkan protein lain seperti globulin, hemoglobin, protein Bence Jones dan mukoprotein. Oleh karena itu hasil pemeriksaan proteinuri yang negatif tidak dapat menyingkirkan kemungkinan terdapatnya protein tersebut didalam urin. Urin yang terlalu lindi, misalnya urin yang mengandung amonium kuartener dan urin yang terkontaminasi oleh kuman, dapat memberikan hasil positif palsu dengan cara ini. Proteinuria dapat terjadi karena kelainan prerenal, renal dan post-renal. Kelainan pre-renal disebabkan karena penyakit sistemik seperti anemia hemolitik yang disertai hemoglobinuria, mieloma, makroglobulinemia dan dapat timbul karena gangguan perfusi glomerulus seperti pada hipertensi dan payah jantung. Proteinuria karena kelainan ginjal dapat disebabkan karena kelainan glomerulus atau tubuli ginjal seperti pada penyakit glomerulunofritis akut atau kronik, sindroma nefrotik, pielonefritis akut atau kronik, nekrosis tubuler akut dan lain-lain

Pemeriksaan glukosa dalam urin dapat dilakukan denganmemakai reagens pita. Selain itu penetapan glukosa dapat dilakukan dengan cara reduksi ion cupri menjadi cupro. Dengan cara reduksi mungkin didapati hasil positip palsu pada urin yang mengandung bahan reduktor selain glukosa seperti : galaktosa, fruktosa, laktosa, pentosa, formalin, glukuronat dan obat-obatan seperti streptomycin, salisilat, vitamin C. Cara enzimatik lebih sensitif dibandingkan dengan cara reduksi. Cara enzimatik dapat mendeteksi kadar glukosa urin sampai 100 mg/dl, sedangkan pada cara reduksi hanya sampai 250 mg/dl.


Juga cara ini lebih spesifik untuk glukosa, karena gula lain seperti galaktosa, laktosa, fruktosa dan pentosa tidak bereaksi. Dengan cara enzimatik mungkin didapatkan hasil negatip palsu pada urin yang mengandung kadar vitamin C melebihi 75 mg/dl atau

benda keton melebihi 40 mg/dl.


Pada orang normal tidak didapati glukosa dalam urin. Glukosuria dapat terjadi karena

peningkatan kadar glukosa dalam darah yang melebihi kepasitas maksimum tubulus untuk mereabsorpsi glukosa seperti pada diabetes mellitus, tirotoksikosis, sindroma Cushing, phaeochromocytoma, peningkatan tekanan intrakranial atau karena ambang rangsang ginjal yang menurun seperti pada renal glukosuria, kehamilan dan sindroma Fanconi.


Benda- benda keton

Dalam urin terdiri atas aseton, asam asetoasetat dan asam 13-hidroksi butirat. Karena aseton mudah menguap, maka urin yang diperiksa harus segar. Pemeriksaan benda keton dengan reagens pita ini dapat mendeteksi asam asetoasetat leblih dari 5-10 mg/dl, tetapi cara ini kurang peka. Untuk aseton dan tidak bereaksi dengan asam beta hidroksi butirat. Hasil positif palsu mungkin didapat bila urin mengandung bromsulphthalein, metabolit levodopa dan pengawet 8-hidroksi-quinoline yang berlebihan.


Dalam keadaan normal pemeriksaan benda keton dalam urin negatif. Pada keadaan puasa yang lama, kelainan metabolisme karbohidrat seperti pada diabetes mellitus, kelainan metabolisme lemak didalam urin didapatkan benda keton dalam jumlah yang tinggi. Hal ini terjadi sebelum kadar benda keton dalam serum meningkat. Pemeriksaan bilirubin dalam urin berdasarkan reaksi antara garam diazonium dengan bilirubin dalam suasana asam, yang menimbulkan warna biru atau ungu tua. Garam diazonium terdiri dari p-nitrobenzene diazonium dan p-toluene sulfonate, sedangkan asam yang dipakai adalah asam sulfo salisilat.

Adanya bilirubin 0,05-1 mg/dl urin akan memberikan basil positif dan keadaan ini menunjukkan kelainan hati atau saluran empedu. Hasil positif palsu dapat terjadi bila dalam urin terdapat mefenamic acid, chlorpromazine dengan kadar yang tinggi sedangkan negatif palsu dapat terjadi bila urin mengandung metabolit pyridium atau serenium.


Pembacaan Reagens Pita

Pemeriksaan urobilinogen dengan reagens pita perlu urin segar. Dalam keadaan normal kadar urobilinogen berkisar antara 0,1 - 1,0 Ehrlich unit per dl urin. Peningkatan ekskresi

urobilinogen urin mungkin disebabkan
oleh kelainan hati, saluran empedu atau proses hemolisa yang berlebihan didalam tubuh. Dalam keadaan normal tidak terdapat darah dalam urin, adanya darah dalam urin mungkin disebabkan oleh perdarahan saluran kemih atau pada wanita yang sedang haid. Dengan pemeriksaan ini dapat dideteksi adanya 150-450 ug hemoglobin per liter urin. Tes ini lebih peka terhadap hemoglobin daripada eritrosit yang utuh sehingga perlu dilakukan pula pemeriksaan mikroskopik urin. Hasil negatif palsu bila urin mengairdung vitamin C lebih dari 10 mg/dl. Hasil positif palsu didapatkan bila urin mengandung oksidator seperti hipochlorid atau peroksidase dari bakteri yang berasal dari Sedimen urin infeksi saluran kemih atau akibat pertumbuhan kuman yang terkontaminasi.


Dalam keadaan normal urin bersifat steril. Adanya bakteriura dapat ditentukan dengan tes nitrit. Dalam keadaan normal tidak terdapat nitrit dalam urin. Tes akan berhasil positif bila terdapat lebih dari mikroorganisme per ml urin. Perlu diperhatikan bahwa urin yang diperiksa hendaklah urin yang telah berada dalam buli-buli minimal 4 jam, sehingga telah terjadi perubahan nitrat menjadi nitrit oleh bakteri. Urin yang terkumpul dalam buli-buli kurang dari 4 jam akan memberikan basil positif pada 40% kasus. Hasil positif akan mencapai 80% kasus bila urin terkumpul dalam buli-buli lebih dari 4 jam. Hasil yang negatif belum dapat menyingkirkan adanya bakteriurea, karena basil negatif mungkin disebabkan infeksi saluran kemih oleh kuman yang tidak mengandung reduktase, sehingga kuman tidak dapat merubah nitrat menjadi nitrit. Bila urin yang akan diperiksa berada dalam buli-buli kurang dari 4 jam atau tidak terdapat nitrat dalam urin, basil tes akan negatif. Kepekaan tes ini berkurang dengan peningkatan berat jenis urin. Hasil negatif palsu terjadi bila urin mengandung
vitamin C melebihi 25 mg/dl dan konsentrasi ion nitrat dalam urin kurang dari 0,03.

Read more.....

manfaat susu sapi

SAPI perah merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibandingkan ternak perah lainnya. Sapi perah sangat efisien dalam mengubah makanan ternak berupa konsentrat dan hijauan menjadi susu yang sangat bermanfaat bagi kesehatan. Di negara-negara maju, sapi perah dipelihara dalam populasi yang tertinggi, karena merupakan salah satu sumber kekuatan ekonomi bangsa. Sapi perah menghasilkan susu dengan keseimbangan nutrisi sempurna yang tidak dapat digantikan bahan makanan lain.
Dalam SK Dirjen Peternakan No. 17 Tahun 1983, dijelaskan definisi susu adalah susu sapi yang meliputi susu segar, susu murni, susu pasteurisasi, dan susu sterilisasi. Susu segar adalah susu murni yang tidak mengalami proses pemanasan. Susu murni adalah cairan yang berasal dari ambing sapi sehat. Susu murni diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, tanpa mengurangi atau menambah sesuatu komponen atau bahan lain.
Secara biologis, susu merupakan sekresi fisiologis kelenjar ambing sebagai makanan dan proteksi imunologis (immunological protection) bagi bayi mamalia.
Sejarah manusia mengonsumsi susu sapi telah dimulai sejak ribuan tahun sebelum masehi, ketika manusia mulai mendomestikasi ternak penghasil susu untuk dikonsumsi hasilnya. Daerah yang memiliki peradaban tinggi seperti Mesopotamia, Mesir, India, dan Yunani diduga sebagai daerah asal manusia pertama kali memelihara sapi perah.
Hal tersebut ditunjukkan dari berbagai bukti berupa sisa-sisa pahatan gambar sapi dan adanya kepercayaan masyarakat setempat yang menganggap sapi sebagai ternak suci. Pada saat itu pula susu telah diolah menjadi berbagai produk seperti mentega dan keju. Ketersediaan susu di zaman modern ini merupakan hasil perpaduan antara pengetahuan tentang susu yang telah berusia ribuan tahun dengan aplikasi teknologi dan ilmu pengetahuan modern.
Prof. Douglas Goff, seorang dairy scientist dari University of Guelph, Kanada menyatakan, komposisi susu terdiri atas air (water), lemak susu (milk fat), dan bahan kering tanpa lemak (solids nonfat). Kemudian, bahan kering tanpa lemak terbagi lagi menjadi protein, laktosa, mineral, asam (sitrat, format, asetat, laktat, oksalat), enzim (peroksidase, katalase, pospatase, lipase), gas (oksigen, nitrogen), dan vitamin (vit. A, vit. C, vit. D, tiamin, riboflavin). Persentase atau jumlah dari masing-masing komponen tersebut sangat bervariasi karena dipengaruhi berbagai faktor seperti faktor bangsa (breed) dari sapi.
Lemak susu
Persentase lemak susu bervariasi antara 2,4% - 5,5%. Lemak susu terdiri atas trigliserida yang tersusun dari satu molekul gliserol dengan tiga molekul asam lemak (fatty acid) melalui ikatan-ikatan ester (ester bonds). Asam lemak susu berasal dari aktivitas mikrobiologi dalam rumen (lambung ruminansia) atau dari sintesis dalam sel sekretori. Asam lemak disusun rantai hidrokarbon dan golongan karboksil (carboxyl group). Salah satu contoh dari asam lemak susu adalah asam butirat (butyric acid) berbentuk asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid) yang akan menyebabkan aroma tengik (rancid flavour) pada susu ketika asam butirat ini dipisahkan dari gliserol dengan enzim lipase.
Lemak susu dikeluarkan dari sel epitel ambing dalam bentuk butiran lemak (fat globule) yang diameternya bervariasi antara 0,1 - 15 mikron. Butiran lemak tersusun atas butiran trigliserida yang dikelilingi membran tipis yang dikenal dengan Fat Globule Membran (FGM) atau membran butiran lemak susu. Komponen utama dalam FGM adalah protein dan fosfolipid (phospholipid). FGM salah satunya berfungsi sebagai stabilisator butiran-butiran lemak susu dalam emulsi dengan kondisi encer (aqueous) dari susu, karena susu sapi mengandung air sekira 87%.
Lemak susu mengandung beberapa komponen bioaktif yang sanggup mencegah kanker (anticancer potential), termasuk asam linoleat konjugasi (conjugated linoleic acid), sphingomyelin, asam butirat, lipid eter (ether lipids), b-karoten, vitamin A, dan vitamin D. Meskipun susu mengandung asam lemak jenuh (saturated fatty acids) dan trans fatty acids yang dihubungkan dengan atherosklerosis dan penyakit jantung, namun susu juga mengandung asam oleat (oleic acid) yang memiliki korelasi negatif dengan penyakit tersebut. Lemak susu mengandung asam lemak esensial, asam linoleat (linoleic acid) dan linolenat (linolenic acid) yang memiliki bermacam-macam fungsi dalam metabolisme dan mengontrol berbagai proses fisiologis dan biokimia pada manusia (D. Mc Donagh dkk., 1999).
Protein susu
Protein dalam susu mencapai 3,25%. Struktur primer protein terdiri atas rantai polipeptida dari asam-asam amino yang disatukan ikatan-ikatan peptida (peptide linkages). Beberapa protein spesifik menyusun protein susu. Kasein merupakan komponen protein yang terbesar dalam susu dan sisanya berupa whey protein. Kadar kasein pada protein susu mencapai 80%. Kasein terdiri atas beberapa fraksi seperti alpha-casein, betha-casein, dan kappa-casein. Kasein merupakan salah satu komponen organik yang berlimpah dalam susu bersama dengan lemak dan laktosa.
Kasein penting dikonsumsi karena mengandung komposisi asam amino yang dibutuhkan tubuh. Dalam kondisi asam (pH rendah), kasein akan mengendap karena memiliki kelarutan (solubility) rendah pada kondisi asam. Susu adalah bahan makanan penting, karena mengandung kasein yang merupakan protein berkualitas juga mudah dicerna (digestible) saluran pencernaan.
Kasein asam (acid casein) sangat ideal digunakan untuk kepentingan medis, nutrisi, dan produk-produk farmasi. Selain sebagai makanan, acid casein digunakan pula dalam industri pelapisan kertas (paper coating), cat, pabrik tekstil, perekat, dan kosmetik.
Pemanasan, pemberian enzim proteolitik (rennin), dan pengasaman dapat memisahkan kasein dengan whey protein. Selain itu, sentrifugasi pada susu dapat pula digunakan untuk memisahkan kasein. Setelah kasein dikeluarkan, maka protein lain yang tersisa dalam susu disebut whey protein.
Whey protein merupakan protein butiran (globular). Betha-lactoglobulin, alpha-lactalbumin, Immunoglobulin (Ig), dan Bovine Serum Albumin (BSA) adalah contoh dari whey protein. Alpha-lactalbumin merupakan protein penting dalam sintesis laktosa dan keberadaannya juga merupakan pokok dalam sintesis susu.
Dalam whey protein terkandung pula beberapa enzim, hormon, antibodi, faktor pertumbuhan (growth factor), dan pembawa zat gizi (nutrient transporter). Sebagian besar whey protein kurang tercerna dalam usus. Ketika whey protein tidak tercerna secara lengkap dalam usus, maka beberapa protein utuh dapat menstimulasi reaksi kekebalan sistemik. Peristiwa ini dikenal dengan alergi protein susu (milk protein allergy).
Karbohidrat susu
Karbohirat merupakan zat organik yang terdiri atas karbon, hidrogen, dan oksigen. Karbohidrat dapat dikelompokan berdasarkan jumlah molekul gula-gula sederhana (simple sugars) dalam karbohidrat tersebut. Monosakarida, disakarida, dan polisakarida merupakan beberapa kelompok karbohidrat. Laktosa adalah karbohidrat utama susu dengan proporsi 4,6% dari total susu. Laktosa tergolong dalam disakarida yang disusun dua monosakarida, yaitu glukosa dan galaktosa. Rasa manis laktosa tidak semanis disakarida lainnya, semacam sukrosa. Rasa manis laktosa hanya seperenam kali rasa manis sukrosa.
Laktosa dapat memengaruhi tekanan osmosa susu, titik beku, dan titik didih. Keberadaan laktosa dalam susu merupakan salah satu keunikan dari susu itu sendiri, karena laktosa tidak terdapat di alam kecuali sebagai produk dari kelenjar susu. Laktosa merupakan zat makanan yang menyediakan energi bagi tubuh. Namun, laktosa ini harus dipecah menjadi glukosa dan galaktosa oleh enzim bernama laktase agar dapat diserap usus.
Enzim laktase merupakan enzim usus yang digunakan untuk menyerap dan mencerna laktosa dalam susu. Enzim adalah suatu zat yang bekerja sebagai katalis untuk melakukan perubahan kimiawi, tanpa diikuti perubahan enzim itu sendiri. Jika kekurangan enzim laktase dalam tubuhnya, manusia akan mengalami gangguan pencernaan pada saat mengonsumsi susu. Laktosa yang tidak tercerna akan terakumulasi dalam usus besar dan akan memengaruhi keseimbangan osmotis di dalamnya, sehingga air dapat memasuki usus. Peristiwa tersebut lazim dinamakan intoleransi laktosa.
Pada saat bayi, manusia memproduksi sejumlah banyak enzim laktase untuk mencerna susu. Namun, enzim laktase ini biasanya berkurang pada saat dewasa yang pada akhirnya menyebabkan manusia tersebut tidak mampu mencerna laktosa. Kejadian ini biasanya terjadi pada seseorang yang tidak terbiasa mengonsumsi susu segar sebagai bagian dari menu makanan sehari-hari. Akibatnya pada saat dewasa tidak memiliki kekebalan terhadap laktosa, sehingga orang tersebut akan takut mengonsumsi susu segar. Hal tersebut dapat diatasi dengan cara mengubah susu menjadi produk lain seperti yoghurt. Pada yoghurt, laktosa dipecah menjadi lebih sederhana dengan bantuan bakteri. Intoleransi laktosa disebabkan pula pengaruh genetik.***

Read more.....

bahaya virus zoonosis

Q fever merupakan penyakit yang bersifat zoonosis yaitu dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Hewan ternak yang dapat terserang adalah sapi, kambing, domba maupun ternak ruminansia lain. Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dengan hewan terinfeksi, melalui makanan asal ternak terinfeksi seperti daging, susu, produk ternak lainnya maupun oleh partikel debu yang terkontaminasi agen penyebab. Q fever telah menjadi problem kesehatan masyarakat di banyak negara seperti Amerika, Perancis, Inggris, Italia, Jerman, Spanyol, Kanada, Jepang, Australia, Thailand, Taiwan, dan Malaysia.

Bahaya Zoonosis Q Fever
Penyebab Q fever adalah bakteri Coxiella burnetii (C.burnetii). Gejala klinis Q fever pada manusia yang tampak adalah demam seperti gejala influenza dan seringkali diikuti dengan radang paru. Penyakit Q fever seringkali bersifat menahun dan menimbulkan kondisi yang fatal yaitu mengakibatkan kegagalan fungsi hati, radang tulang, radang otak, gangguan pada pembuluh darah dan yang sering terjadi adalah peradangan jantung (endocarditis) yang berakibat fatal (Rice dan Madico 2005).
Negara Amerika bahkan menempatkan C.burnetii sebagai salah satu mikroorganisme yang berpotensi sebagai senjata biologi (CDC 2003). Laporan APEC (2005) menyatakan adanya 13 penderita Q fever pada manusia di Colorado. Hal ini lebih menegaskan lagi bahwa Q fever masih merupakan masalah di benua Amerika.

Epidemiologi Q Fever
Penelitian tentang Q fever di beberapa negara sudah demikian maju, bahkan sekuensing genom dari C. burnetii secara lengkap sudah dilakukan (Seshadri et al. 2003). Hal ini mengingat C. burnetii mempunyai potensi untuk dipakai sebagai senjata biologis. Laporan epidemiologi dari banyak negara menyebutkan bahwa orang yang sering kontak langsung dengan ternak, seperti peternak, pekerja rumah potong, masyarakat yang tinggal di daerah kumuh (urban area) berpeluang besar terserang Q fever. Indonesia dengan jumlah penduduk yang sebagian besar adalah petani yang tidak terlepas dari hewan ternak serta banyaknya lokasi kumuh di perkotaan sangat rentan terhadap infeksi Q fever.
Penelitian terhadap penyebab Q fever di Indonesia sampai saat ini belum pernah dilaporkan. Hal ini bukanlah karena tidak ada kasus Q fever, tetapi lebih disebabkan oleh gejala klinis bentuk akut infeksi Q fever yang tidak begitu menciri, seperti terjadinya pneumonia, keguguran ataupun tingginya kasus hepatitis dan endokarditis. Temuan kasus klinik belum pernah didiagnosa kearah adanya Q fever, sehingga kurang menjadi perhatian oleh pemerintah dan masyarakat seperti halnya infeksi akut avian influenza (AI) ataupun Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Padahal dampak jangka panjangnya sangat membahayakan dan fatal bagi manusia.
Di sisi lain Indonesia merupakan pengimpor ternak terutama sapi baik sapi bakalan maupun daging beku dari Amerika, Australia, New Zealand dan beberapa negara lain. Pada tahun 2005 Indonesia telah mengimpor sapi sebanyak 700.000 ekor dari Amerika dan Australia (Raswa 2005). Selain itu era globalisasi akan meningkatkan arus lalu lintas perdagangan ternak dan juga mobilitas manusia, yang juga berdampak terhadap cepatnya penyebaran penyakit khususnya zoonosa seperti Q fever ataupun yang lainnya.
Penentuan diagnosis yang cepat dan akurat terhadap Q fever merupakan satu keniscayaan yang sampai saat ini terus dikembangkan di negara-negara maju sebagai upaya pencegahan dan terapi yang tepat dan cepat. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji penyebab Q fever pada ruminansia; sapi, domba dan kambing menggunakan teknik nested-polymerase chain reaction (nested-PCR).

Q fever Pada Ruminansia
Hasil kajian diperoleh bahwa dari 410 total sampel ruminansia, 12 ekor sapi Brahman cross dan 6 ekor domba yang berasal dari Bogor, serta 3 ekor sapi Bali yang berada di Bali menunjukkan hasil positif. Sampel dari Kambing semuanya menunjukkan hasil negatif dengan nested-PCR. Sapi Brahman cross adalah jenis sapi impor yang berasal dari Amerika dan Australia. Negara-negara tersebut sampai saat ini masih belum terlepas dari masalah kasus Q fever (CDC 2003).

Hasil pemeriksaan terhadap Sapi Bali
Dari 70 ekor sapi Bali yang diperiksa ternyata 3 ekor positif terhadap adanya C. burnetii. Sapi Bali yang diperiksa berasal dari kabupaten Karangasem yang merupakan daerah dengan populasi Sapi Bali terbesar di provinsi Bali yaitu 129.688 ekor. Sapi-sapi tersebut umumnya sebagian besar dikirim keluar daerah bahkan diantar pulaukan, hanya sebagian kecil yang dikonsumsi mengingat sebagian besar masyarakat Bali beragama Hindu tidak mengkonsumsi daging sapi.
Sapi Bali merupakan plasma nutfah yang dijaga kemurnian genetiknya dengan tidak memasukkan jenis atau strain sapi dari luar Bali. Oleh karena itu, dengan ditemukannya C. burnetii pada sapi Bali tersebut, merupakan suatu hal yang menarik untuk diteliti lebih lanjut, mengingat penellitian tentang Q fever pada sapi Bali yang ada di Bali baru pertama kali dilakukan maka hampir tidak ada data penunjang untuk dapat mengetahui bagaimana C. burnetii dapat menginfeksi sapi Bali. Hal ini seperti yang diteliti Ejercito et al. (1993) tentang prevalensi C. burnetii pada ruminansia liar yaitu sebesar 69 % pada rusa liar di habitat aslinya yang terisolasi. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi juga belum dapat dijelaskan, mengingat data penunjang yang sangat minim. Kemungkinan adalah melalui caplak dan kutu yang berpindah, hal ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Adanya hasil uji PCR positif terhadap C. burnetii sebagai penyebab Q fever pada ruminansia di wilayah Indonesia merupakan suatu peringatan untuk mulai mempertimbangkan kembali tentang kebijakan impor sapi maupun daging sapi dari luar negeri secara khusus. Tindakan uji penapisan terhadap Q fever pada ternak ruminansia yang diimpor dari luar negeri untuk menghindari dan mencegah penyebaran Q fever sudah sepatutnya mulai ditegakkan. Hal ini mengingat banyaknya vektor yang bisa menyebarkan Q fever dan daya tahan bakteri C. burnetii yang sangat tinggi di alam sehingga upaya pemberantasan menjadi sangat sulit dilakukan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dengan menggunakan metode nested-PCR maka telah dapat ditemukan adanya infeksi C. burnetii di Indonesia, khususnya pada sapi Brahman cross 6.86 %, sapi Bali 4.29 %, dan domba 5.71 %, sedangkan pada kambing dari Bali tidak ditemukan adanya infeksi C. Burnetii.

Saran
Perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam tentang Q fever meliputi pemetaan wilayah, uji serologis maupun penelitian tentang variasi genetik C. burnetii sehingga nantinya dapat diupayakan pembuatan imunoreagen diagnostik untuk penanganan yang tepat melalui diagnosa cepat dan akurat kasus Q fever pada hewan atau bahkan pada manusia.
Agus Setiyono, Staf Bagian Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Bogor, Indonesia

Read more.....

POTENSI DAN KERAGAMAN SUMBERDAYA GENETIK
SAPI BALI
EKO HANDIWIRAWAN1 dan SUBANDRIYO2
1Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Jl. Raya Pajajaran Kav E-59, Bogor 16151
2Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002

ABSTRAK
Sapi Bali merupakan sapi asli Indonesia yang cukup penting karena terdapat dalam jumlah cukup besar dengan wilayah penyebarannya yang luas di Indonesia. Semakin tingginya impor daging dan ternak sapi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri mestinya dapat menjadi pendorong bagi pihak-pihak yang terkait untuk memperbaiki produktivitas sapi dalam negeri dengan mengelola sapi asli Indonesia sebaik-baiknya, termasuk sapi Bali. Beberapa kelebihan dimiliki sapi Bali terutama kemampuan adaptasinya dalam lingkungan dengan ketersediaan pakan berkualitas rendah dan fertilitasnya yang sangat baik. Kebijakan pemerintah untuk menetapkan Propinsi Bali sebagai daerah yang diproteksi bagi masuknya sapi bangsa lain untuk pelestarian sapi Bali sangat beralasan mengingat Indonesia merupakan pusat gen sapi Bali dan tempat pertama kali domestikasi sapi tersebut. Upaya perbaikan mutu genetik sapi Bali yang saat ini tengah dilakukan di wilayah peternakan murni (Propinsi Bali) melalui P3 Bali melalui seleksi dan uji keturunan berhasil mendapatkan sapi dengan nilai pemuliaan dugaan yang lebih baik. Pejantan elit yang dihasilkan melalui program tersebut diharapkan dapat memperbaiki sapi Bali secara keseluruhan melalui program IB. Perbaikan mutu genetik melalui persilangan dengan bangsa sapi Bos taurus dan Bos indicus yang terjadi di kantong-kantong sumber bibit mampu menghasilkan sapi hasil persilangan yang memiliki produktivitas cukup baik untuk final stock. Terdapat kecenderungan untuk terus meningkatkan komposisi genetik sapi Bos taurus melalui program IB di peternakan rakyat. Evaluasi mungkin perlu dilakukan untuk menentukan
komposisi genetik sapi persilangan yang ideal agar dapat berproduksi optimal sesuai dengan kondisi lingkungan setempat.
PENDAHULUAN
Di antara berbagai bangsa sapi yang ada di Indonesia, sapi Bali merupakan salah satu sapi asli Indonesia yang cukup penting dan terdapat dalam jumlah yang cukup besar. Populasi sapi Bali di Indonesia pernah dicatat dua kali yaitu pada tahun 1984 dan 1988, pencatatan jumlah sapi Bali setelah itu tidak pernah dilakukan lagi, sehingga jumlahnya saat ini tidak diketahui dengan pasti. Pada tahun 1988 jumlah sapi Bali tercatat 2.632.125 ekor yang berarti sekitar 26,9% dari total sapi potong di Indonesia. Dibandingkan sapi asli atau sapi lokal lainnya di Indonesia (sapi Ongole, PO dan Madura), persentase sapi Bali tersebut adalah yang tertinggi (DITJEN BINA PRODUKSI PETERNAKAN, 2002). Penyebaran sapi Bali saat ini hampir meliputi seluruh wilayah Indonesia, kecuali Propinsi DKI Jakarta. Empat propinsi yang memiliki jumlah sapi Bali terbesar di Indonesia adalah Propinsi Sulawesi Selatan, NTB, Bali dan NTT. Mengingat jumlahnya yang cukup besar dan penyebarannya yang cukup luas maka sapi Bali merupakan bangsa ternak sapi yang cukup penting dalam penyediaan daging nasional. Pada tahun 2002, produksi daging nasional dari ternak sapi mencapai lebih dari 320 ribu ton, yaitu sekitar 20,5% dari total produksi daging nasional dari beberapa komoditas ternak, dan menempati peringkat kedua setelah produksi daging ayam potong (DITJEN BINA PRODUKSI PETERNAKAN, 2002). Pada berbagai lingkungan pemeliharaan di Indonesia, sapi Bali memperlihatkan kemampuannya untuk berkembang biak dengan baik yang disebabkan beberapa keunggulan yang dimiliki sapi Bali. Keunggulan sapi Bali dibandingkan sapi lain yaitu memiliki daya adaptasi sangat tinggi terhadap lingkungan yang kurang baik (MASUDANA, 1990), seperti dapat memanfaatkan pakan dengan kualitas rendah (SASTRADIPRADJA, 1990), mempunyai fertilitas dan conception rate yang sangat baik (OKA dan DARMADJA, 1996), persentase karkas yang tinggi yaitu 52-57,7% (PAYNE dan ROLLINSON, 1973), memiliki daging berkualitas baik dengan kadar lemak rendah (kurang lebih 4%) (PAYNE dan HODGES, 1997) dan tahan terhadap parasit internal dan eksternal (NATIONAL RESEARCH COUNCIL, 1983). Dengan berbagai keunggulan yang dimiliki tersebut dan mengingat Indonesia merupakan pusat sapi Bali di dunia maka sapi Bali merupakan aset nasional yang perlu dilestarikan. Pemerintah telah sejak lama memberikan perhatian yang cukup besar bagi pelestarian plasma nutfah ini dengan menetapkan program nasional pemuliaan untuk sapi Bali. Program nasional tersebut meliputi program pemurnian dan peningkatan mutu genetik sapi Bali. Program pemurnian sapi Bali dilaksanakan dengan penetapan wilayah peternakan murni sapi Bali yang meliputi Pulau Bali, Pulau Sumbawa di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Pulau Flores di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Kabupaten Bone di Propinsi Sulawesi Selatan (PANE, 1991) yang sekaligus wilayah tersebut ditetapkan sebagai sumber bibit sapi Bali secara nasional (SOEHADJi, 1990). Di luar wilayah tersebut, terbuka untuk persilangan dan perbaikan mutu genetik. Namun dalam perkembangannya untuk meningkatkan mutu genetik sapi Bali di beberapa wilayah tersebut, peternak menghendaki adanya persilangan dengan bangsa sapi lain (Bos taurus atau Bos indicus) sehingga PANE (1991) mengemukakan bahwa hanya sapi Bali yang terdapat di Bali yang masih murni.
ASAL-USUL DAN PENYEBARAN SAPI BALI
Sapi Bali (Bibos sondaicus) yang ada saat ini diduga berasal dari hasil domestikasi banteng liar (Bibos banteng). Menurut ROLLINSON (1984) proses domestikasi sapi Bali itu terjadi sebelum 3.500 SM di Indonesia atau Indochina. Banteng liar saat ini bisa ditemukan di Jawa bagian Barat dan bagian Timur, di Pulau Kalimantan, serta ditemukan juga di Malaysia (PAYNE dan ROLLINSON, 1973). HARDJOSUBROTO dan ASTUTI (1993) mengemukakan bahwa di Indonesia saat ini, banteng liar hanya terdapat di hutan lindung Baluran, Jawa Timur dan Ujung Kulon, Jawa Barat, serta di beberapa kebun binatang. Adanya banteng liar ini memberikan peluang Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004 52 untuk perbaikan mutu sapi Bali atau untuk persilangan dengan jenis sapi lain (NATIONAL RESEARCH COUNCIL, 1983).
Tempat dimulainya domestikasi sapi Bali masih terdapat perbedaan pendapat, dimana MEIJER (1962) berpendapat proses domestikasi terjadi di Jawa, namun PAYNE dan ROLLINSON (1973) menduga agaknya asal mula sapi Bali adalah dari Pulau Bali mengingat tempat ini merupakan pusat distribusi sapi Bali di Indonesia. NOZAWA (1979) menduga gen asli sapi Bali berasal dari Pulau Bali yang kemudian menyebar luas ke daerah Asia Tenggara, dengan kata lain bahwa pusat gen sapi Bali adalah di Pulau Bali, di samping pusat gen sapi zebu di India dan pusat gen primigenius di Eropa. Penyebaran sapi Bali di Indonesia dimulai pada tahun 1890 dengan adanya pengiriman ke Sulawesi, pengiriman selanjutnya dilakukan pada tahun 1920 dan 1927 (HERWEIJER, 1950). Kemudian pada sekitar tahun 1947 dilakukan pengiriman besar-besaran sapi Bali oleh pemerintah Belanda ke Sulawesi Selatan yang langsung didistribusikan kepada petani (PANE, 1991). Sejak saat itu, populasi sapi Bali berkembang dengan cepat sehingga sampai saat ini Propinsi Sulawesi Selatan menjadi propinsi yang memiliki sapi Bali dengan jumlah terbesar di Indonesia. Untuk penyebaran sapi Bali ke Lombok mulai dilakukan pada abad ke-19 yang dibawa oleh raja-raja pada zaman itu (HARDJOSUBROTO dan ASTUTI, 1993), dan sampai ke Pulau Timor antara tahun 1912 dan 1920 (HERWEIJER, 1950). Penyebaran sapi Bali ke banyak wilayah di Indonesia kemudian dilakukan sejak tahun 1962 (HARDJOSUBROTO dan ASTUTI, 1993) dan saat ini telah menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Tidak hanya di wilayah Indonesia, sapi Bali juga telah disebarkan ke berbagai negara. Tercatat sapi Bali telah diintroduksikan ke Semenanjung Cobourg di Australia Utara di antara tahun 1827 dan 1849. Pernah juga dilakukan ekspor secara reguler sapi Bali kastrasi ke Hongkong untuk dipotong. Selain itu, pada masa lalu, sapi Bali juga pernah dikirim ke Philipina, Malaysia dan Hawai (PAYNE dan ROLLINSON, 1973), telah juga dikirimkan ke Texas, USA dan New South Wales, Australia sebagai ternak percobaan (NATIONAL RESEARCH COUNCIL, 1983).
Sejak berjangkitnya penyakit Jembrana tahun 1964 hingga kini, Bali tidak mengeluarkan sapi bibit (terkecuali pejantan IB) dan perannya diambil alih oleh Propinsi NTT, NTB dan Sulawesi Selatan (PANE, 1991). Ditinjau dari sistematika ternak, hubungannya dengan sapi lain dikemukakan HARDJOSUBROTO (1994) bahwa sapi Bali satu famili dengan sapi lain, yaitu famili bovidae, genus bos dan subgenus bibovine. Sapi-sapi yang termasuk ke dalam subgenus bibovine adalah Bibos gaurus, Bibos frontalis dan Bibos sondaicus. Diketahui bahwa perkawinan antara sapi Bali dengan sapi lain yang berbeda subgenus tersebut (Bos taurus dan Bos indicus) menghasilkan anak jantan yang steril. Beberapa kemungkinan penyebabnya adalah keturunan F1 jantan mengalami gangguan synapsis kromosom selama proses meiosis yang mengurangi daya hidup sel germinal dan banyak hambatan fisiologis yang mempengaruhi perkembangan sel germinal (ELDRIDGE, 1985) serta tidak sempurnanya pembelahan reduksi dalam proses spermatogenesis (HARDJOSUBROTO, 1994).
POTENSI GENETIK SAPI BALI
Produktivitas
Banyak laporan yang telah mengemukakan hasil penelitian mengenai kemampuan produksi sapi Bali. Kemampuan produksi sapi Bali dapat dilihat dari beberapa indikator sifat-sifat produksi seperti bobot lahir, bobot sapih, bobot dewasa, laju pertambahan bobot badan, sifatsifat karkas (persentase karkas dan kualitas karkas), dan sebagainya, maupun sifat reproduksi seperti dewasa kelamin, umur pubertas, jarak beranak (calving interval), persentase beranak, dan sebagainya. Beberapa sifat produksi dan reproduksi tersebut merupakan sifat penting/ekonomis yang dapat dipergunakan sebagai indikator seleksi.
Dewasa sapi Bali induk di Propinsi Bali dan NTB terlihat lebih tinggi dibandingkan yang berada di Propinsi NTT dan Sulawesi Selatan. Bobot badan tersebut tidak jauh berbeda dari yang dilaporkan Pane (1991) bahwa sapi Bali betina dewasa mempunyai bobot badan antara 224-300 kg dengan tinggi sekitar 1,05-1,14 m, sedangkan bobot badan sapi Bali betina terbaik pada pameran ternak tahun 1991 mencapai 300-489 kg dengan tinggi sekitar 1,21-1,27 m (HARDJOSUBROTO, 1994). Sementara itu, sapi Bali jantan dewasa mempunyai bobot antara 337-494 kg dengan tinggi sekitar 1,22-1,30 m PANE (1991), sedangkan bobot badan sapi Bali terbaik pada pameran ternak tahun 1991 mencapai 450-647 kg dengan tinggi sekitar 1,25-1,44 m (HARDJOSUBROTO, 1994).
Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sapi Bali memberikan respon positif terhadap perbaikan pakan dengan meningkatnya laju pertambahan bobot badan. Rataan laju pertambahan bobot badan (PBB) sapi Bali yang diberi rumput lapangan tanpa diberi pakan tambahan adalah 175,75 g/ekor/hari, namun PBB harian meningkat jika diberi pakan tambahan konsentrat 1,8% hingga mencapai 313,88 g/ekor/hari (AMRIL, 1990). SOEMARMI et al. (1985) melaporkan laju PBB sapi Bali mencapai 690 dan 820 g/ekor/hari berturutturut yang diberi pakan rumput dan pucuk tebu ditambah konsentrat 1%.Pubertas sapi Bali dicapai pada kisaran umur 20–24 bulan untuk sapi betina sedangkan pada yang jantan dicapai pada umur 24–28 bulan (Tabel 2). Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa sapi Bali mempunyai tingkat kesuburan yang sangat baik, dan walaupun dalam kondisi lingkungan yang kurang baik sapi Bali masih mampu mempertahankan sifat ini. tidak jelas namun terdapat bulan-bulan dimana banyak terjadi perkawinan. PANE (1991) melaporkan bahwa terlihat terdapat kenaikan perkawinan pada bulan Agustus sampai Januari dan tertinggi pada bulan Oktober dan Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004 54 Nopember, sementara itu bulan Pebruari sampai dengan Juni merupakan bulan-bulan dengan perkawinan lebih rendah dan bulan dimana perkawinan paling rendah yaitu pada bulan Mei. Persentase karkas sapi Bali cukup tinggi yang berkisar antara 52–57,7% (Tabel 3), lebih baik dibandingkan sapi Ongole dan sapi Madura yang dilaporkan MORAN (1979) berturut-turut sebesar 51,9 dan 52,5%. Hasil penelitian ARKA (1984) menunjukkan bahwa kandungan lemak daging sapi Bali cukup rendah dan tanpa marbling, yang merupakan salah satu kelebihan yang dimiliki daging sapi Bali.
Beberapa kelemahan sapi Bali
Sebagai sapi asli Indonesia, sapi Bali memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan yang kurang baik, namun demikian sapi Bali ternyata memiliki kerentanan yang sangat tinggi terhadap beberapa jenis penyakit. Sapi Bali sangat peka terhadap penyakit Jembrana/Ramadewa dan Malignant Catarrhal Fever (MCF). Penyakit Jembrana hanya menyerang sapi Bali, selain pernah terjadi di Propinsi Bali, pernah juga terjadi di Propinsi Lampung, Sumatera Selatan (disebut penyakit Ramadewa) dan Jawa Timut (disebut Penyakit Banyuwangi). Tingkat insidens penyakit Jembrana per tahun dilaporkan PERANGINANGIN (1990) sebesar 0,55% dengan persentase kematian dari hewan yang terserang mencapai 11,18%. Sapi Bali juga sangat rentan dengan penyakit MCF, kematian dapat mencapai 100% dari ternak yang sakit. Sapi Madura dan kerbau adalah jenis ternak berikutnya yang juga rentan, sementara itu sapi keturunan Bos indicus dan Bos taurus relatif tahan terhadap penyakit tersebut. Kambing dan domba diketahui merupakan ternak yang sering menyimpan virus MCF dalam jangka waktu lama tanpa menjadi sakit (reservoir) setelah terinfeksi. Sering didapati, di daerah-daerah dengan populasi kambing dan domba yang tinggi, kejadian serangan MCF pada sapi Bali menjadi tinggi. Oleh karena itu, daerah pengembangan sapi Bali menjadi agak terbatas dan harus dipilih daerah-daerah yang mempunyai populasi kambing dan domba yang rendah. Berbeda dengan daging sapi Eropa, daging sapi Bali mempunyai kandungan lemak yang rendah dan tanpa marbling. Aspek ini ditambah dengan tekstur yang alot dan warna yang gelap menjadi kelemahan jika daging sapi Bali dipergunakan sebagai bahan untuk steak, slice-beef, sate dan daging asap, karena kurang disukai oleh konsumen. Namun demikian di sisi lain, perlemakan yang rendah menjadi kelebihan tersendiri bagi konsumen yang melakukan diet ketat untuk lemak hewani. Bagi industri pengolahan daging, warna daging yang gelap dan citarasa yang kuat yang dimiliki sapi Bali sangat diperlukan untuk pembuatan sosis, burger, daging kalengan, dan lain-lain.
PELESTARIAN DAN PEMANFAATAN BERKELANJUTAN
Karakteristik fisik dan keragaman genetik Sapi Bali
Variasi merupakan ciri-ciri umum yang terdapat di dalam suatu populasi. Keragaman terjadi tidak hanya antar bangsa tetapi juga di dalam satu bangsa yang sama, antar populasi maupun di dalam populasi, di antara individu tersebut. Keragaman pada sapi Bali dapat dilihat dari ciri-ciri fenotipe yang dapat diamati atau terlihat secara langsung, seperti tinggi, berat, tekstur dan panjang rambut, warna dan pola warna tubuh, perkembangan tanduk, dan sebagainya. Polimorfisme biokimia pada sapi juga merupakan keragaman yang dapat dilihat dengan adanya variasi di dalam protein plasma atau serum darah (misalnya Albumin, Alkaline Phosphatase, Transferrin, dan lain-lain), sel darah merah (Acid Phosphatase, Haemoglobin beta, Peptidase B, dan sebagainya), sel darah putih (Alkaline ribonuclease, Leucocytic protein 2, Phosphoglucomutase, dan Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004 55 sebagainya) dan susu (Casein beta, Casein kappa, Lactoglobulin beta, dan sebagainya). Sekuen DNA juga mempunyai keragaman yang dapat diamati dengan menggunakan beberapa macam cara, seperti RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism), RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA), SSCP (Single-Strand Conformational Polymorphism), AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism), dan lain-lain. Sapi Bali mempunyai ciri-ciri fisik yang seragam, dan hanya mengalami perubahan kecil dibandingkan dengan leluhur liarnya (banteng). Warna sapi betina dan anak atau muda biasanya coklat muda dengan garis hitam tipis terdapat di sepanjang tengah punggung. Warna sapi jantan adalah coklat ketika muda tetapi kemudian warna ini berubah agak gelap pada umur 12-18 bulan sampai mendekati hitam pada saat dewasa, kecuali sapi jantan yang dikastrasi akan tetap berwarna coklat. Pada kedua jenis kelamin terdapat warna putih pada bagian belakang paha (pantat), bagian bawah (perut), keempat kaki bawah (white stocking) sampai di atas kuku, bagian dalam telinga, dan pada pinggiran bibir atas (PAYNE dan ROLLINSON, 1973; NATIONAL RESEARCH COUNCIL, 1983; HARDJOSUBROTO dan ASTUTI, 1993). Disamping pola warna yang umum dan standar, pada sapi Bali juga ditemukan beberapa pola warna yang menyimpang seperti dikemukakan HARDJOSUBROTO dan ASTUTIm (1993), yaitu:

1.
Sapi injin adalah sapi Bali yang warna bulu tubuhnya hitam sejak kecil, warna bulu telinga bagian dalam juga hitam, pada yang jantan sekalipun dikebiri tidak terjadi perubahan warna;
2.
Sapi mores adalah sapi Bali yang semestinya pada bagian bawah tubuh berwarna putih tetapi ada warna hitam atau merah pada bagian bawah tersebut;
3.
Sapi tutul adalah sapi Bali yang bertutultutul putih pada bagian tubuhnya;
4.
Sapi bang adalah sapi Bali yang kaos putih pada kakinya berwarna merah;
5.
Sapi panjut adalah sapi Bali yang ujung ekornya berwarna putih;
6.
Sapi cundang adalah sapi Bali yang dahinya berwarna putih.

Selain itu, menurut MASUDANA (1990) ada sapi lembu, yaitu sapi yang berwarna putih albino.
Dari 300 sampel pengamatan sapi Bali di Propinsi Bali, HANDIWIRAWAN (2003) mendapatkan sapi Bali yang memiliki warna yang menyimpang dari normal mencapai 17% dan yang terbanyak adalah warna kaos kaki putih tercampur warna merah bata/coklat/hitam atau bagian kaki ini berwarna merah bata/ coklat/hitam. Ditemukan juga sapi Bali yang berwarna tutul dan injin masing-masing sebanyak 0,6 dan 0,3%. Sapi Bali jantan maupun betina mempunyai tanduk, yang berbeda dalam ukuran dan bentuknya dan ada beberapa variasi tipe tanduk pada kedua jenis kelamin tersebut (PAYNE dan ROLLINSON, 1973). Panjang tanduk sapi jantan biasanya 20 sampai 25 cm, bentuk tanduk yang ideal pada sapi jantan disebut bentuk tanduk silak conglok yaitu jalannya pertumbuhan tanduk mula-mula dari dasar sedikit keluar (tumbuh ke arah samping), lalu membengkok ke atas dan kemudian pada ujungnya membengkok sedikit ke arah luar. Pada yang betina, bentuk tanduk yang ideal disebut manggul gangsa yaitu jalannya pertumbuhan tanduk satu garis dengan dahi arah ke atas dan pada ujungnya sedikit mengarah ke belakang dan kemudian melengkung ke bawah lagi mengarah ke kepala (ke dalam). Sapi Bali yang tidak bertanduk tidak pernah ditemukan (PAYNE dan ROLLINSON, 1973; NATIONAL RESEARCH COUNCIL, 1983; HARDJOSUBROTO, 1994). Kepala sapi Bali termasuk panjang tetapi tidak lebar, kedua telinganya tegak dan berukuran sedang (PAYNE dan ROLLINSON, 1973). Terdapat variasi bentuk tanduk pada sapi Bali di Propinsi Bali. Hasil penelitian HANDIWIRAWAN (2003) mendapatkan bahwa pada sapi Bali jantan terdapat 7 macam bentuk tanduk sedangkan pada yang betina diperoleh 12 macam bentuk tanduk. Bentuk tanduk yang umum untuk sapi Bali jantan (seperti didefinisikan PAYNE dan ROLLINSON, 1973; NATIONAL RESEARCH COUNCIL, 1983; HARDJOSUBROTO, 1994) ternyata bukan merupakan bentuk yang umum dimiliki sapi Bali jantan yang teramati. Bentuk tanduk ini hanya dimiliki oleh 6,5% dari sapi Bali jantan yang diamati. Sapi Bali jantan pada umumnya memiliki bentuk tanduk ke samping kemudian ke atas atau ke samping-ke atas kemudian ke belakang, dan proporsi sapi yang bertanduk demikian adalah sebesar 74,5% dari keseluruhan sapi jantan yang diamati. Bentuk umum tanduk sapi Bali betina sesuai dengan Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004 56 bentuk normal yang didefinisikan oleh PAYNE dan ROLLINSON (1973), NATIONAL RESEARCH COUNCIL (1983) dan HARDJOSUBROTO (1994), yaitu mencapai 31,9%. Ditemukan juga bentuk tanduk yang sedikit berbeda dengan bentuk tanduk yang normal dalam jumlah cukup besar (29,3%), yaitu mengarah ke atas dan kemudian ke belakang. Jenis-jenis protein di dalam darah maupun susu dapat menunjukkan polimorfisme dengan menggunakan prosedur elektroforesis, yang merupakan cerminan adanya perbedaan genetis. NAMIKAWA et al. (1982) melaporkan adanya keragaman pada sapi Bali dari hasil pengujian 15 lokus enzim dan protein darah. Pada protein susu juga ditemukan keragaman yaitu untuk protein susu αs1, β dan κ-casein demikian pula untuk β-Lactoglobulin,
sementara itu α-Lactalbumin hanya mempunyai satu macam alel (BELL et al., 1981a; BELL et al., 1981b). DNA mikrosatelit merupakan salah satu penciri genetik DNA yang mempunyai polimorfisme tinggi. WINAYA (2000) yang melakukan penelitian pada 16 lokus DNA mikrosatelit pada sapi Bali dan menemukan keragaman pada sebagian besar lokus DNA mikrosatelit tersebut. Sementara itu, lokus DNA mikrosatelit HEL9 pada sapi Bali adalah monomorfik, sedangkan pada bangsa sapi lain (Madura, PO dan Brangus) adalah polimorfik.

Upaya pelestarian sapi Bali

Perhatian terhadap upaya perbaikan mutu genetik sapi Bali telah dimulai sejak lama. NATIONAL RESEARCH COUNCIL (1983) mencatat bahwa sejak tahun 1913 pemerintah telah menjalankan ketentuan (hukum) yang melarang persilangan pada sapi Bali untuk mempertahankan kemurnian bangsa sapi ini di Bali dan Pulau Sumbawa. Sementara itu, sejak tahun 1942 telah mulai dilaksanakan program seleksi sapi Bali yang baik. Program ini kemudian diubah dan diperbaiki pada tahun 1949, dimana pemilik sapi jantan yang terpilih baik mendapat sejumlah subsidi uang setiap tahun sebagai insentif agar dapat mempertahankan dan terus memperbaiki kualitas sapi miliknya (PAYNE dan ROLLINSON, 1973). Perhatian pemerintah yang lebih besar terhadap upaya pengembangbiakan ternak di Indonesia, selanjutnya diwujudkan dengan dikeluarkannya Undang Undang No. 6 tahun 1967 yang merupakan landasan bagi upaya pengembangbiakan ternak untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu bangsa ternak di Indonesia melalui upaya pemurnian atau melalui persilangan antar bangsa ternak (DJARSANTO, 1997). Khusus untuk sapi Bali, telah ditetapkan program nasional yang meliputi program pemurnian dan peningkatan mutu genetik. Sebagai wilayah peternakan murni sapi Bali ditetapkan Pulau Bali, NTB, NTT dan Sulawesi Selatan. Dimulai pada tahun 1976, di Pulau Bali telah dilaksanakan program pemuliaan sapi Bali dengan melakukan seleksi dalam bangsa, untuk memperoleh bibit sapi Bali yang baik mutunya melalui Proyek Pengembangan dan Pembibitan Sapi Bali (P3Bali) (SOEHADJI, 1990). Sementara itu, persilangan hanya dapat dilakukan di luar wilayah peternakan murni. Dalam perkembangannya di wilayah peternakan murni (sumber bibit) telah terjadi pencemaran genetik sapi Bali dengan bangsa sapi lain (Bos taurus dan zebu), kecuali sapi Bali yang ada di Pulau Bali. Sehubungan dengan itu, daerah di luar Bali yang ditetapkan sebagai daerah pemurnian sapi Bali lebih dipersempit lagi, yaitu Pulau Sumbawa di NTB, Pulau Flores di NTT, Kabupaten Bone di Sulawesi Selatan dan Kabupaten Lampung Selatan di Propinsi Lampung. Walaupun demikian, Pane (1991) mengemukakan bahwa hingga kini hanya sapi Bali yang terdapat di Pulau Bali yang masih dapat dipertanggungjawabkan kemurniannya. Upaya penetapan daerah peternakan murni sekaligus dengan meningkatkan produktivitas sapi Bali melalui kegiatan seleksi secara terencana tentunya akan sangat mendukung program pelestarian plasma nutfah ternak asli tersebut. Pelestarian sapi Bali perlu terus dilakukan dimana kegiatan tersebut harus dipandang sebagai upaya antisipatif penyediaan “bahan baku” bagi perakitan bangsa sapi baru untuk dapat mengantisipasi perubahan selera pasar di masa depan yang tidak mudah untuk diprediksi. Sebagai contoh akhir-akhir ini seiring dengan meningkatnya kesadaran untuk mengkonsumsi pangan sehat dan timbulnya perhatian/pandangan yang negatif terhadap pangan berkolesterol maka terdapat perubahan permintaan pada industri peternakan untuk menghasilkan daging dengan kandungan lemak rendah (lean) dan tentunya dihasilkan dari suatu bangsa ternak tertentu. Melalui program persilangan permintaan pasar tersebut dapat direspon dengan membentuk suatu bangsa baru yang lebih sesuai dengan kondisi lingkungan dan pasar di masa mendatang. Beberapa bangsa sapi terkenal seperti Brangus, Santa Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004 57 Gertrudis, Droughmaster, dan lain-lain merupakan bangsa sapi unggul sebagai hasil persilangan dari beberapa macam bangsa sapi yang masih dipertahankan ada/dilestarikan.
Program pelestarian sapi Bali perlu didukung dengan metode identifikasi kemurnian sapi Bali yang cepat, mudah dan akurat, agar pelestarian sapi Bali pada suatu wilayah tertentu dapat berhasil dilakukan tanpa ada keraguan terhadap kemurniannya. Metode identifikasi kemurnian sapi Bali yang andal juga sangat membantu penentuan pemilihan pejantan sapi Bali sebagai pejantan yang dipergunakan di Balai Inseminasi Buatan sehingga pencemaran genetik pada wilayah yang ditentukan sebagai tempat pelestarian sapi Bali murni dapat dihindari. Serangkaian penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi penciri genetik sapi Bali yang diharapkan dapat dipergunakan sebagai metode untuk menentukan kemurnian sapi Bali. Tim Peneliti Fapet IPB dan BIB Singosari (2000) telah merintis untuk mulai mencari sifat fisik/fenotip (struktur bulu) maupun dari aspek molekuler (protein darah dan DNA mikrosatelit) yang dapat dipergunakan sebagai penciri bangsa sapi Bali. Walaupun sulit dijustifikasi, terdapat perbedaan struktur bulu rambut sapi Bali dengan struktur bulu bangsa sapi lainnya (Simental Limousin dan Brangus). Namun hasil penelitian ini perlu diuji lagi di lapangan khususnya dalam penurunan alel dari tetua ke progeninya. Hasil pengamatan pada lokus Haemoglobin β menunjukkan bahwa alel haemoglobin βX (Hb βX) adalah khas dan mirip seperti yang dilaporkan Namikawa et al. (1982b) bahwa alel haemoglobin βX (Hb βX) adalah alel yang paling umum ditemukan pada sapi Bali dan pada banteng sebagai leluhur dari sapi Bali. Dari hasil penelitian pada empat bangsa sapi dengan sampel yang terbatas, WINAYA (2000) mengemukakan bahwa lokus DNA mikrosatelit HEL9 pada sapi Bali adalah monomorfik, sedangkan pada bangsa sapi lain (Madura, PO dan Brangus) adalah polimorfik. Hasil penelitian Tim Peneliti Fapet IPB dan BIB Singosari (2000) dengan sampel terbatas pada tiga bangsa sapi lainnya (Simmental, Brangus, dan Limousin) memperkuat hasil penelitian tersebut. Selain itu diperoleh juga hasil bahwa lokus DNA mikrosatelit INRA035 pada seluruh sampel sapi Bali yang diteliti konsisten mempunyai dua alel sehingga kemungkinan dapat dipergunakan sebagai penciri genetik untuk sapi Bali. Handiwirawan (2003) melakukan pengujian lokus DNA mikrosatelit HEL9 dan INRA035 dalam sampel yang lebih besar pada sapi Bali di Propinsi Bali. Hasil identifikasi genotipe sapi Bali dan genotipe banteng sebagai pembanding menunjukkan bahwa alel A dan alel B merupakan alel yang monomorfik pada lokus mikrosatelit INRA035 pada sapi Bali sehingga dapat digunakan sebagai penciri genetik sapi Bali. Alel A pada lokus mikrosatelit HEL9 merupakan alel dengan frekuensi yang sangat tinggi pada sapi Bali (92,9%) yang dapat dipergunakan sebagai penciri genetik pendukung pada sapi Bali karena semua banteng yang diuji juga memiliki alel tersebut. Dari beberapa hasil penelitin tersebut penggunaan lokus mikrosatelit INRA035 sebagai penciri genetik sapi Bali dapat digunakan, namun sebaiknya dikombinasikan dengan pengujian lokus HEL9 dan identifikasi fenotipe (pola warna tubuh, bentuk tanduk dan struktur bulu) agar diperoleh hasil yang lebih akurat.

Perbaikan mutu genetik sapi Bali

Program pemuliaan khusus untuk sapi Bali telah ditetapkan dan dijalankan pemerintah. Pokok-pokok pemuliaan sapi Bali seperti dikemukakan SOEHADJI (1990) adalah meliputi:
1. Menjalankan peternakan murni sapi Bali di Pulau Bali, NTB, Pulau Timor dan beberapa daerah di Sulawesi Selatan sebagai sumber bibit sapi Bali secara nasional,
2. Melakukan uji performans dan uji zuriat di breeding centre P3Bali Pulukan Bali untuk memperoleh pejantan sapi Bali unggul yang digunakan untuk kawin alam atau produksi semen beku,
3. Membentuk populasi dasar sebagai sumber gen yang unggul dan membentuk kelompok sapi Bali betina unggul dan dipelihara di Pusat Pembibitan Sapi Bali di Pulukan, Bali dan Anamina, Dompu-Sumbawa,
4. Melakukan inseminasi buatan berskala nasional untuk mempercepat aliran gen yang unggul dari pejantan sapi Bali unggul. Proyek Pembibitan dan Pengembangan Sapi Bali (P3Bali) dilaksanakan sebagai upaya untuk memperbaiki mutu genetik sapi Bali di Propinsi Bali melalui seleksi, uji performans dan uji keturunan (progeny test).

Dalam kegiatan ini, pejantan elit yang dihasilkan dari uji keturunan akan dipergunakan BIB untuk Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004 58 diambil semennya guna memperbaiki mutu genetik sapi Bali di seluruh Indonesia. Dari kegiatan ini terlihat bahwa performans produksi dan reproduksi sapi Bali di P3Bali dilaporkan lebih baik dibandingkan sapi Bali yang terdapat di Propinsi Bali, NTB, NTT dan Sulsel (PANE, 1990). SUKMASARI (2001) dengan menggunakan metode BLUP (best linear unbiased prediction) mendapatkan hasil bahwa sapi Bali yang dipelihara di breeding center Pulukan mempunyai rataan nilai pemuliaan dugaan lebih tinggi dibandingkan di instalasi populasi dasar (Marga, Baturiti, Selemadeg, Penebel). Namun demikian kecenderungan genetik yang merupakan perubahan rataan nilai pemuliaan dari suatu populasi dalam waktu tertentu untuk bobot sapih dan bobot setahun didapati menurun dengan kemiringan berturut-turut –0,60 dan – 0,30, sedangkan kecenderungan genetik pertambahan bobot badan harian pascasapih meningkat dengan kemiringan 1,74 (analisa data dari 1991-2000). Secara keseluruhan, mulai tahun 1983 sampai 1999 kecenderungan genetik sapi Bali di P3 Bali mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Dari hasil penelitiannya tersebut, SUKMASARI (2003) juga menyarankan bahwa seleksi agar didasarkan pada nilai pemuliaan agar seleksi dapat dilakukan lebih akurat sehingga kecenderungan genetik sapi Bali di P3 Bali terus meningkat. Di luar wilayah pemurnian (Propinsi Bali) kebijakan pemerintah untuk melakukan persilangan melalui IB dapat dilakukan dengan bangsa sapi lain. Sejak diperkenalkannya teknologi IB, persilangan dengan semen-semen Bos taurus dan Bos indicus banyak dilakukan, termasuk pada sapi Bali di daerah-daerah kantong bibit (NTT, NTB dan Sulsel). Jika dikaitkan dengan kerentanan sapi Bali terhadap penyakit Jembrana dan MCF, program persilangan berdampak positif terhadap kasus serangan penyakit tersebut. Sapi hasil persilangan memiliki ketahanan yang lebih tinggi terhadap penyakit tersebut karena pewarisan gen sapi Bos taurus, dan dengan demikian wilayah pengembangan sapi persilangan ini dapat lebih luas. Di wilayah kantong bibit, berdasarkan pengalamannya peternak memiliki kesukaan pada bangsa-bangsa tertentu dan memilih semen-semen dari bangsa tersebut untuk dipergunakan dalam IB, seperti Simmental, Limousin, Hereford dan Brangus. Tidak jarang anak betina hasil persilangan di-IB dengan bangsa sapi yang sama kembali dan demikian seterusnya sehingga komposisi genetik sapi Bos taurus menjadi terus meningkat. Tindakan yang demikian dipastikan akan menurunkan kemampuan adaptasi sapi hasil persilangan tersebut pada lingkungan yang keras sehingga produktivitasnya menjadi menurun. Sampai saat ini pada wilayah-wilayah tersebut banyak terbentuk keturunan sapi Bali dengan komposisi genetik yang tidak jelas. Evaluasi terhadap persilangan pada sapi Bali nampaknya perlu dilakukan untuk menentukan komposisi genetik sapi persilangan yang sesuai dengan kondisi lingkungan dimana sapi tersebut dikembangkan. Seiring dengan berjalannya Otonomi Daerah maka masingmasing wilayah dengan kondisi lingkungan yang berbeda akan mempunyai program persilangan untuk menghasilkan sapi yang cocok dengan sistem usaha dan kemampuan sumberdaya alamnya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Beberapa kelebihan yang dimiliki sapi Bali, seperti mempunyai fertilitas dan persentase karkas yang tinggi, kadar lemak daging yang rendah, dan mampu memanfaatkan pakan berkualitas rendah, serta memberikan respon cukup baik dalam perbaikan pakan, menunjukkan bahwa sapi bali berpotensi dan cocok untuk dikembangkan pada kondisi lapang di Indonesia pada umumnya. Pelestarian sapi Bali sangat penting dilakukan mengingat potensi besar yang dimilikinya untuk dipergunakan sebagai “bahan baku” pembentukan bangsa sapi baru untuk saat ini dan di masa depan dalam mengantisipasi permintaan pasar yang terkadang sukar untuk
diprediksi. Perbaikan mutu genetik melalui seleksi di wilayah peternakan murni dan persilangan dengan Bos taurus di kantongkantong sumber bibit mampu memperlihatkan perbaikan produktivitas. Program persilangan untuk sapi Bali yang saat ini dilakukan perlu dibuat lebih jelas arahnya agar produksinya dapat lebih optimal.

DAFTAR PUSTAKA

AMRIL, M. A., S. RASJID dan S. HASAN. 1990.
Rumput lapangan dan jerami padi amoniasi
urea sebagai sumber hijauan dalam
penggemukan sapi Bali jantan dengan
makanan penguat. Pros. Seminar Nasional
Sapi Bali. 20-22 September 1990. Fakultas
Peternakan Universitas Udayana. Denpasar.
ARKA, I.B. 1984. Pengaruh Penggemukan terhadap
Kualitas Daging dan Karkas pada sapi Bali.
Disertasi. Universitas Pajajaran, Bandung.
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
59

Read more.....

sapi bali - perbaikan mutu genetik

POTENSI DAN KERAGAMAN SUMBERDAYA GENETIK
SAPI BALI

EKO HANDIWIRAWAN1 dan SUBANDRIYO2
1Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Jl. Raya Pajajaran Kav E-59, Bogor 16151
2Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002


ABSTRAK

Sapi Bali merupakan sapi asli Indonesia yang cukup penting karena terdapat dalam jumlah cukup besar dengan wilayah penyebarannya yang luas di Indonesia. Semakin tingginya impor daging dan ternak sapi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri mestinya dapat menjadi pendorong bagi pihak-pihak yang terkait untuk memperbaiki produktivitas sapi dalam negeri dengan mengelola sapi asli Indonesia sebaik-baiknya, termasuk sapi Bali. Beberapa kelebihan dimiliki sapi Bali terutama kemampuan adaptasinya dalam lingkungan dengan ketersediaan pakan berkualitas rendah dan fertilitasnya yang sangat baik. Kebijakan pemerintah untuk menetapkan Propinsi Bali sebagai daerah yang diproteksi bagi masuknya sapi bangsa lain untuk pelestarian sapi Bali sangat beralasan mengingat Indonesia merupakan pusat gen sapi Bali dan tempat pertama kali domestikasi sapi tersebut. Upaya perbaikan mutu genetik sapi Bali yang saat ini tengah dilakukan di wilayah peternakan murni (Propinsi Bali) melalui P3 Bali melalui seleksi dan uji keturunan berhasil mendapatkan sapi dengan nilai pemuliaan dugaan yang lebih baik. Pejantan elit yang dihasilkan melalui program tersebut diharapkan dapat memperbaiki sapi Bali secara keseluruhan melalui program IB. Perbaikan mutu genetik melalui persilangan dengan bangsa sapi Bos taurus dan Bos indicus yang terjadi di kantong-kantong sumber bibit mampu menghasilkan sapi hasil persilangan yang memiliki produktivitas cukup baik untuk final stock. Terdapat kecenderungan untuk terus meningkatkan komposisi genetik sapi Bos taurus melalui program IB di peternakan rakyat. Evaluasi mungkin perlu dilakukan untuk menentukan
komposisi genetik sapi persilangan yang ideal agar dapat berproduksi optimal sesuai dengan kondisi lingkungan setempat.
PENDAHULUAN
Di antara berbagai bangsa sapi yang ada di Indonesia, sapi Bali merupakan salah satu sapi asli Indonesia yang cukup penting dan terdapat dalam jumlah yang cukup besar. Populasi sapi Bali di Indonesia pernah dicatat dua kali yaitu pada tahun 1984 dan 1988, pencatatan jumlah sapi Bali setelah itu tidak pernah dilakukan lagi, sehingga jumlahnya saat ini tidak diketahui dengan pasti. Pada tahun 1988 jumlah sapi Bali tercatat 2.632.125 ekor yang berarti sekitar 26,9% dari total sapi potong di Indonesia. Dibandingkan sapi asli atau sapi lokal lainnya di Indonesia (sapi Ongole, PO dan Madura), persentase sapi Bali tersebut adalah yang tertinggi (DITJEN BINA PRODUKSI PETERNAKAN, 2002). Penyebaran sapi Bali saat ini hampir meliputi seluruh wilayah Indonesia, kecuali Propinsi DKI Jakarta. Empat propinsi yang memiliki jumlah sapi Bali terbesar di Indonesia adalah Propinsi Sulawesi Selatan, NTB, Bali dan NTT. Mengingat jumlahnya yang cukup besar dan penyebarannya yang cukup luas maka sapi Bali merupakan bangsa ternak sapi yang cukup penting dalam penyediaan daging nasional. Pada tahun 2002, produksi daging nasional dari ternak sapi mencapai lebih dari 320 ribu ton, yaitu sekitar 20,5% dari total produksi daging nasional dari beberapa komoditas ternak, dan menempati peringkat kedua setelah produksi daging ayam potong (DITJEN BINA PRODUKSI PETERNAKAN, 2002). Pada berbagai lingkungan pemeliharaan di Indonesia, sapi Bali memperlihatkan kemampuannya untuk berkembang biak dengan baik yang disebabkan beberapa keunggulan yang dimiliki sapi Bali. Keunggulan sapi Bali dibandingkan sapi lain yaitu memiliki daya adaptasi sangat tinggi terhadap lingkungan yang kurang baik (MASUDANA, 1990), seperti dapat memanfaatkan pakan dengan kualitas rendah (SASTRADIPRADJA, 1990), mempunyai fertilitas dan conception rate yang sangat baik (OKA dan DARMADJA, 1996), persentase karkas yang tinggi yaitu 52-57,7% (PAYNE dan ROLLINSON, 1973), memiliki daging berkualitas baik dengan kadar lemak rendah (kurang lebih 4%) (PAYNE dan HODGES, 1997) dan tahan terhadap parasit internal dan eksternal (NATIONAL RESEARCH COUNCIL, 1983). Dengan berbagai keunggulan yang dimiliki tersebut dan mengingat Indonesia merupakan pusat sapi Bali di dunia maka sapi Bali merupakan aset nasional yang perlu dilestarikan. Pemerintah telah sejak lama memberikan perhatian yang cukup besar bagi pelestarian plasma nutfah ini dengan menetapkan program nasional pemuliaan untuk sapi Bali. Program nasional tersebut meliputi program pemurnian dan peningkatan mutu genetik sapi Bali. Program pemurnian sapi Bali dilaksanakan dengan penetapan wilayah peternakan murni sapi Bali yang meliputi Pulau Bali, Pulau Sumbawa di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Pulau Flores di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Kabupaten Bone di Propinsi Sulawesi Selatan (PANE, 1991) yang sekaligus wilayah tersebut ditetapkan sebagai sumber bibit sapi Bali secara nasional (SOEHADJi, 1990). Di luar wilayah tersebut, terbuka untuk persilangan dan perbaikan mutu genetik. Namun dalam perkembangannya untuk meningkatkan mutu genetik sapi Bali di beberapa wilayah tersebut, peternak menghendaki adanya persilangan dengan bangsa sapi lain (Bos taurus atau Bos indicus) sehingga PANE (1991) mengemukakan bahwa hanya sapi Bali yang terdapat di Bali yang masih murni.
ASAL-USUL DAN PENYEBARAN SAPI BALI
Sapi Bali (Bibos sondaicus) yang ada saat ini diduga berasal dari hasil domestikasi banteng liar (Bibos banteng). Menurut ROLLINSON (1984) proses domestikasi sapi Bali itu terjadi sebelum 3.500 SM di Indonesia atau Indochina. Banteng liar saat ini bisa ditemukan di Jawa bagian Barat dan bagian Timur, di Pulau Kalimantan, serta ditemukan juga di Malaysia (PAYNE dan ROLLINSON, 1973). HARDJOSUBROTO dan ASTUTI (1993) mengemukakan bahwa di Indonesia saat ini, banteng liar hanya terdapat di hutan lindung Baluran, Jawa Timur dan Ujung Kulon, Jawa Barat, serta di beberapa kebun binatang. Adanya banteng liar ini memberikan peluang Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004 52 untuk perbaikan mutu sapi Bali atau untuk persilangan dengan jenis sapi lain (NATIONAL RESEARCH COUNCIL, 1983).
Tempat dimulainya domestikasi sapi Bali masih terdapat perbedaan pendapat, dimana MEIJER (1962) berpendapat proses domestikasi terjadi di Jawa, namun PAYNE dan ROLLINSON (1973) menduga agaknya asal mula sapi Bali adalah dari Pulau Bali mengingat tempat ini merupakan pusat distribusi sapi Bali di Indonesia. NOZAWA (1979) menduga gen asli sapi Bali berasal dari Pulau Bali yang kemudian menyebar luas ke daerah Asia Tenggara, dengan kata lain bahwa pusat gen sapi Bali adalah di Pulau Bali, di samping pusat gen sapi zebu di India dan pusat gen primigenius di Eropa. Penyebaran sapi Bali di Indonesia dimulai pada tahun 1890 dengan adanya pengiriman ke Sulawesi, pengiriman selanjutnya dilakukan pada tahun 1920 dan 1927 (HERWEIJER, 1950). Kemudian pada sekitar tahun 1947 dilakukan pengiriman besar-besaran sapi Bali oleh pemerintah Belanda ke Sulawesi Selatan yang langsung didistribusikan kepada petani (PANE, 1991). Sejak saat itu, populasi sapi Bali berkembang dengan cepat sehingga sampai saat ini Propinsi Sulawesi Selatan menjadi propinsi yang memiliki sapi Bali dengan jumlah terbesar di Indonesia. Untuk penyebaran sapi Bali ke Lombok mulai dilakukan pada abad ke-19 yang dibawa oleh raja-raja pada zaman itu (HARDJOSUBROTO dan ASTUTI, 1993), dan sampai ke Pulau Timor antara tahun 1912 dan 1920 (HERWEIJER, 1950). Penyebaran sapi Bali ke banyak wilayah di Indonesia kemudian dilakukan sejak tahun 1962 (HARDJOSUBROTO dan ASTUTI, 1993) dan saat ini telah menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Tidak hanya di wilayah Indonesia, sapi Bali juga telah disebarkan ke berbagai negara. Tercatat sapi Bali telah diintroduksikan ke Semenanjung Cobourg di Australia Utara di antara tahun 1827 dan 1849. Pernah juga dilakukan ekspor secara reguler sapi Bali kastrasi ke Hongkong untuk dipotong. Selain itu, pada masa lalu, sapi Bali juga pernah dikirim ke Philipina, Malaysia dan Hawai (PAYNE dan ROLLINSON, 1973), telah juga dikirimkan ke Texas, USA dan New South Wales, Australia sebagai ternak percobaan (NATIONAL RESEARCH COUNCIL, 1983).
Sejak berjangkitnya penyakit Jembrana tahun 1964 hingga kini, Bali tidak mengeluarkan sapi bibit (terkecuali pejantan IB) dan perannya diambil alih oleh Propinsi NTT, NTB dan Sulawesi Selatan (PANE, 1991). Ditinjau dari sistematika ternak, hubungannya dengan sapi lain dikemukakan HARDJOSUBROTO (1994) bahwa sapi Bali satu famili dengan sapi lain, yaitu famili bovidae, genus bos dan subgenus bibovine. Sapi-sapi yang termasuk ke dalam subgenus bibovine adalah Bibos gaurus, Bibos frontalis dan Bibos sondaicus. Diketahui bahwa perkawinan antara sapi Bali dengan sapi lain yang berbeda subgenus tersebut (Bos taurus dan Bos indicus) menghasilkan anak jantan yang steril. Beberapa kemungkinan penyebabnya adalah keturunan F1 jantan mengalami gangguan synapsis kromosom selama proses meiosis yang mengurangi daya hidup sel germinal dan banyak hambatan fisiologis yang mempengaruhi perkembangan sel germinal (ELDRIDGE, 1985) serta tidak sempurnanya pembelahan reduksi dalam proses spermatogenesis (HARDJOSUBROTO, 1994).
POTENSI GENETIK SAPI BALI
Produktivitas
Banyak laporan yang telah mengemukakan hasil penelitian mengenai kemampuan produksi sapi Bali. Kemampuan produksi sapi Bali dapat dilihat dari beberapa indikator sifat-sifat produksi seperti bobot lahir, bobot sapih, bobot dewasa, laju pertambahan bobot badan, sifatsifat karkas (persentase karkas dan kualitas karkas), dan sebagainya, maupun sifat reproduksi seperti dewasa kelamin, umur pubertas, jarak beranak (calving interval), persentase beranak, dan sebagainya. Beberapa sifat produksi dan reproduksi tersebut merupakan sifat penting/ekonomis yang dapat dipergunakan sebagai indikator seleksi.
Dewasa sapi Bali induk di Propinsi Bali dan NTB terlihat lebih tinggi dibandingkan yang berada di Propinsi NTT dan Sulawesi Selatan. Bobot badan tersebut tidak jauh berbeda dari yang dilaporkan Pane (1991) bahwa sapi Bali betina dewasa mempunyai bobot badan antara 224-300 kg dengan tinggi sekitar 1,05-1,14 m, sedangkan bobot badan sapi Bali betina terbaik pada pameran ternak tahun 1991 mencapai 300-489 kg dengan tinggi sekitar 1,21-1,27 m (HARDJOSUBROTO, 1994). Sementara itu, sapi Bali jantan dewasa mempunyai bobot antara 337-494 kg dengan tinggi sekitar 1,22-1,30 m PANE (1991), sedangkan bobot badan sapi Bali terbaik pada pameran ternak tahun 1991 mencapai 450-647 kg dengan tinggi sekitar 1,25-1,44 m (HARDJOSUBROTO, 1994).
Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sapi Bali memberikan respon positif terhadap perbaikan pakan dengan meningkatnya laju pertambahan bobot badan. Rataan laju pertambahan bobot badan (PBB) sapi Bali yang diberi rumput lapangan tanpa diberi pakan tambahan adalah 175,75 g/ekor/hari, namun PBB harian meningkat jika diberi pakan tambahan konsentrat 1,8% hingga mencapai 313,88 g/ekor/hari (AMRIL, 1990). SOEMARMI et al. (1985) melaporkan laju PBB sapi Bali mencapai 690 dan 820 g/ekor/hari berturutturut yang diberi pakan rumput dan pucuk tebu ditambah konsentrat 1%.Pubertas sapi Bali dicapai pada kisaran umur 20–24 bulan untuk sapi betina sedangkan pada yang jantan dicapai pada umur 24–28 bulan (Tabel 2). Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa sapi Bali mempunyai tingkat kesuburan yang sangat baik, dan walaupun dalam kondisi lingkungan yang kurang baik sapi Bali masih mampu mempertahankan sifat ini. tidak jelas namun terdapat bulan-bulan dimana banyak terjadi perkawinan. PANE (1991) melaporkan bahwa terlihat terdapat kenaikan perkawinan pada bulan Agustus sampai Januari dan tertinggi pada bulan Oktober dan Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004 54 Nopember, sementara itu bulan Pebruari sampai dengan Juni merupakan bulan-bulan dengan perkawinan lebih rendah dan bulan dimana perkawinan paling rendah yaitu pada bulan Mei. Persentase karkas sapi Bali cukup tinggi yang berkisar antara 52–57,7% (Tabel 3), lebih baik dibandingkan sapi Ongole dan sapi Madura yang dilaporkan MORAN (1979) berturut-turut sebesar 51,9 dan 52,5%. Hasil penelitian ARKA (1984) menunjukkan bahwa kandungan lemak daging sapi Bali cukup rendah dan tanpa marbling, yang merupakan salah satu kelebihan yang dimiliki daging sapi Bali.
Beberapa kelemahan sapi Bali
Sebagai sapi asli Indonesia, sapi Bali memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan yang kurang baik, namun demikian sapi Bali ternyata memiliki kerentanan yang sangat tinggi terhadap beberapa jenis penyakit. Sapi Bali sangat peka terhadap penyakit Jembrana/Ramadewa dan Malignant Catarrhal Fever (MCF). Penyakit Jembrana hanya menyerang sapi Bali, selain pernah terjadi di Propinsi Bali, pernah juga terjadi di Propinsi Lampung, Sumatera Selatan (disebut penyakit Ramadewa) dan Jawa Timut (disebut Penyakit Banyuwangi). Tingkat insidens penyakit Jembrana per tahun dilaporkan PERANGINANGIN (1990) sebesar 0,55% dengan persentase kematian dari hewan yang terserang mencapai 11,18%. Sapi Bali juga sangat rentan dengan penyakit MCF, kematian dapat mencapai 100% dari ternak yang sakit. Sapi Madura dan kerbau adalah jenis ternak berikutnya yang juga rentan, sementara itu sapi keturunan Bos indicus dan Bos taurus relatif tahan terhadap penyakit tersebut. Kambing dan domba diketahui merupakan ternak yang sering menyimpan virus MCF dalam jangka waktu lama tanpa menjadi sakit (reservoir) setelah terinfeksi. Sering didapati, di daerah-daerah dengan populasi kambing dan domba yang tinggi, kejadian serangan MCF pada sapi Bali menjadi tinggi. Oleh karena itu, daerah pengembangan sapi Bali menjadi agak terbatas dan harus dipilih daerah-daerah yang mempunyai populasi kambing dan domba yang rendah. Berbeda dengan daging sapi Eropa, daging sapi Bali mempunyai kandungan lemak yang rendah dan tanpa marbling. Aspek ini ditambah dengan tekstur yang alot dan warna yang gelap menjadi kelemahan jika daging sapi Bali dipergunakan sebagai bahan untuk steak, slice-beef, sate dan daging asap, karena kurang disukai oleh konsumen. Namun demikian di sisi lain, perlemakan yang rendah menjadi kelebihan tersendiri bagi konsumen yang melakukan diet ketat untuk lemak hewani. Bagi industri pengolahan daging, warna daging yang gelap dan citarasa yang kuat yang dimiliki sapi Bali sangat diperlukan untuk pembuatan sosis, burger, daging kalengan, dan lain-lain.
PELESTARIAN DAN PEMANFAATAN BERKELANJUTAN
Karakteristik fisik dan keragaman genetik Sapi Bali
Variasi merupakan ciri-ciri umum yang terdapat di dalam suatu populasi. Keragaman terjadi tidak hanya antar bangsa tetapi juga di dalam satu bangsa yang sama, antar populasi maupun di dalam populasi, di antara individu tersebut. Keragaman pada sapi Bali dapat dilihat dari ciri-ciri fenotipe yang dapat diamati atau terlihat secara langsung, seperti tinggi, berat, tekstur dan panjang rambut, warna dan pola warna tubuh, perkembangan tanduk, dan sebagainya. Polimorfisme biokimia pada sapi juga merupakan keragaman yang dapat dilihat dengan adanya variasi di dalam protein plasma atau serum darah (misalnya Albumin, Alkaline Phosphatase, Transferrin, dan lain-lain), sel darah merah (Acid Phosphatase, Haemoglobin beta, Peptidase B, dan sebagainya), sel darah putih (Alkaline ribonuclease, Leucocytic protein 2, Phosphoglucomutase, dan Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004 55 sebagainya) dan susu (Casein beta, Casein kappa, Lactoglobulin beta, dan sebagainya). Sekuen DNA juga mempunyai keragaman yang dapat diamati dengan menggunakan beberapa macam cara, seperti RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism), RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA), SSCP (Single-Strand Conformational Polymorphism), AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism), dan lain-lain. Sapi Bali mempunyai ciri-ciri fisik yang seragam, dan hanya mengalami perubahan kecil dibandingkan dengan leluhur liarnya (banteng). Warna sapi betina dan anak atau muda biasanya coklat muda dengan garis hitam tipis terdapat di sepanjang tengah punggung. Warna sapi jantan adalah coklat ketika muda tetapi kemudian warna ini berubah agak gelap pada umur 12-18 bulan sampai mendekati hitam pada saat dewasa, kecuali sapi jantan yang dikastrasi akan tetap berwarna coklat. Pada kedua jenis kelamin terdapat warna putih pada bagian belakang paha (pantat), bagian bawah (perut), keempat kaki bawah (white stocking) sampai di atas kuku, bagian dalam telinga, dan pada pinggiran bibir atas (PAYNE dan ROLLINSON, 1973; NATIONAL RESEARCH COUNCIL, 1983; HARDJOSUBROTO dan ASTUTI, 1993). Disamping pola warna yang umum dan standar, pada sapi Bali juga ditemukan beberapa pola warna yang menyimpang seperti dikemukakan HARDJOSUBROTO dan ASTUTIm (1993), yaitu:
  1. Sapi injin adalah sapi Bali yang warna bulu tubuhnya hitam sejak kecil, warna bulu telinga bagian dalam juga hitam, pada yang jantan sekalipun dikebiri tidak terjadi perubahan warna;
  2. Sapi mores adalah sapi Bali yang semestinya pada bagian bawah tubuh berwarna putih tetapi ada warna hitam atau merah pada bagian bawah tersebut;
  3. Sapi tutul adalah sapi Bali yang bertutultutul putih pada bagian tubuhnya;
  4. Sapi bang adalah sapi Bali yang kaos putih pada kakinya berwarna merah;
  5. Sapi panjut adalah sapi Bali yang ujung ekornya berwarna putih;
  6. Sapi cundang adalah sapi Bali yang dahinya berwarna putih.

Selain itu, menurut MASUDANA (1990) ada sapi lembu, yaitu sapi yang berwarna putih albino.
Dari 300 sampel pengamatan sapi Bali di Propinsi Bali, HANDIWIRAWAN (2003) mendapatkan sapi Bali yang memiliki warna yang menyimpang dari normal mencapai 17% dan yang terbanyak adalah warna kaos kaki putih tercampur warna merah bata/coklat/hitam atau bagian kaki ini berwarna merah bata/ coklat/hitam. Ditemukan juga sapi Bali yang berwarna tutul dan injin masing-masing sebanyak 0,6 dan 0,3%. Sapi Bali jantan maupun betina mempunyai tanduk, yang berbeda dalam ukuran dan bentuknya dan ada beberapa variasi tipe tanduk pada kedua jenis kelamin tersebut (PAYNE dan ROLLINSON, 1973). Panjang tanduk sapi jantan biasanya 20 sampai 25 cm, bentuk tanduk yang ideal pada sapi jantan disebut bentuk tanduk silak conglok yaitu jalannya pertumbuhan tanduk mula-mula dari dasar sedikit keluar (tumbuh ke arah samping), lalu membengkok ke atas dan kemudian pada ujungnya membengkok sedikit ke arah luar. Pada yang betina, bentuk tanduk yang ideal disebut manggul gangsa yaitu jalannya pertumbuhan tanduk satu garis dengan dahi arah ke atas dan pada ujungnya sedikit mengarah ke belakang dan kemudian melengkung ke bawah lagi mengarah ke kepala (ke dalam). Sapi Bali yang tidak bertanduk tidak pernah ditemukan (PAYNE dan ROLLINSON, 1973; NATIONAL RESEARCH COUNCIL, 1983; HARDJOSUBROTO, 1994). Kepala sapi Bali termasuk panjang tetapi tidak lebar, kedua telinganya tegak dan berukuran sedang (PAYNE dan ROLLINSON, 1973). Terdapat variasi bentuk tanduk pada sapi Bali di Propinsi Bali. Hasil penelitian HANDIWIRAWAN (2003) mendapatkan bahwa pada sapi Bali jantan terdapat 7 macam bentuk tanduk sedangkan pada yang betina diperoleh 12 macam bentuk tanduk. Bentuk tanduk yang umum untuk sapi Bali jantan (seperti didefinisikan PAYNE dan ROLLINSON, 1973; NATIONAL RESEARCH COUNCIL, 1983; HARDJOSUBROTO, 1994) ternyata bukan merupakan bentuk yang umum dimiliki sapi Bali jantan yang teramati. Bentuk tanduk ini hanya dimiliki oleh 6,5% dari sapi Bali jantan yang diamati. Sapi Bali jantan pada umumnya memiliki bentuk tanduk ke samping kemudian ke atas atau ke samping-ke atas kemudian ke belakang, dan proporsi sapi yang bertanduk demikian adalah sebesar 74,5% dari keseluruhan sapi jantan yang diamati. Bentuk umum tanduk sapi Bali betina sesuai dengan Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004 56 bentuk normal yang didefinisikan oleh PAYNE dan ROLLINSON (1973), NATIONAL RESEARCH COUNCIL (1983) dan HARDJOSUBROTO (1994), yaitu mencapai 31,9%. Ditemukan juga bentuk tanduk yang sedikit berbeda dengan bentuk tanduk yang normal dalam jumlah cukup besar (29,3%), yaitu mengarah ke atas dan kemudian ke belakang. Jenis-jenis protein di dalam darah maupun susu dapat menunjukkan polimorfisme dengan menggunakan prosedur elektroforesis, yang merupakan cerminan adanya perbedaan genetis. NAMIKAWA et al. (1982) melaporkan adanya keragaman pada sapi Bali dari hasil pengujian 15 lokus enzim dan protein darah. Pada protein susu juga ditemukan keragaman yaitu untuk protein susu αs1, β dan κ-casein demikian pula untuk β-Lactoglobulin,
sementara itu α-Lactalbumin hanya mempunyai satu macam alel (BELL et al., 1981a; BELL et al., 1981b). DNA mikrosatelit merupakan salah satu penciri genetik DNA yang mempunyai polimorfisme tinggi. WINAYA (2000) yang melakukan penelitian pada 16 lokus DNA mikrosatelit pada sapi Bali dan menemukan keragaman pada sebagian besar lokus DNA mikrosatelit tersebut. Sementara itu, lokus DNA mikrosatelit HEL9 pada sapi Bali adalah monomorfik, sedangkan pada bangsa sapi lain (Madura, PO dan Brangus) adalah polimorfik.

Upaya pelestarian sapi Bali

Perhatian terhadap upaya perbaikan mutu genetik sapi Bali telah dimulai sejak lama. NATIONAL RESEARCH COUNCIL (1983) mencatat bahwa sejak tahun 1913 pemerintah telah menjalankan ketentuan (hukum) yang melarang persilangan pada sapi Bali untuk mempertahankan kemurnian bangsa sapi ini di Bali dan Pulau Sumbawa. Sementara itu, sejak tahun 1942 telah mulai dilaksanakan program seleksi sapi Bali yang baik. Program ini kemudian diubah dan diperbaiki pada tahun 1949, dimana pemilik sapi jantan yang terpilih baik mendapat sejumlah subsidi uang setiap tahun sebagai insentif agar dapat mempertahankan dan terus memperbaiki kualitas sapi miliknya (PAYNE dan ROLLINSON, 1973). Perhatian pemerintah yang lebih besar terhadap upaya pengembangbiakan ternak di Indonesia, selanjutnya diwujudkan dengan dikeluarkannya Undang Undang No. 6 tahun 1967 yang merupakan landasan bagi upaya pengembangbiakan ternak untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu bangsa ternak di Indonesia melalui upaya pemurnian atau melalui persilangan antar bangsa ternak (DJARSANTO, 1997). Khusus untuk sapi Bali, telah ditetapkan program nasional yang meliputi program pemurnian dan peningkatan mutu genetik. Sebagai wilayah peternakan murni sapi Bali ditetapkan Pulau Bali, NTB, NTT dan Sulawesi Selatan. Dimulai pada tahun 1976, di Pulau Bali telah dilaksanakan program pemuliaan sapi Bali dengan melakukan seleksi dalam bangsa, untuk memperoleh bibit sapi Bali yang baik mutunya melalui Proyek Pengembangan dan Pembibitan Sapi Bali (P3Bali) (SOEHADJI, 1990). Sementara itu, persilangan hanya dapat dilakukan di luar wilayah peternakan murni. Dalam perkembangannya di wilayah peternakan murni (sumber bibit) telah terjadi pencemaran genetik sapi Bali dengan bangsa sapi lain (Bos taurus dan zebu), kecuali sapi Bali yang ada di Pulau Bali. Sehubungan dengan itu, daerah di luar Bali yang ditetapkan sebagai daerah pemurnian sapi Bali lebih dipersempit lagi, yaitu Pulau Sumbawa di NTB, Pulau Flores di NTT, Kabupaten Bone di Sulawesi Selatan dan Kabupaten Lampung Selatan di Propinsi Lampung. Walaupun demikian, Pane (1991) mengemukakan bahwa hingga kini hanya sapi Bali yang terdapat di Pulau Bali yang masih dapat dipertanggungjawabkan kemurniannya. Upaya penetapan daerah peternakan murni sekaligus dengan meningkatkan produktivitas sapi Bali melalui kegiatan seleksi secara terencana tentunya akan sangat mendukung program pelestarian plasma nutfah ternak asli tersebut. Pelestarian sapi Bali perlu terus dilakukan dimana kegiatan tersebut harus dipandang sebagai upaya antisipatif penyediaan “bahan baku” bagi perakitan bangsa sapi baru untuk dapat mengantisipasi perubahan selera pasar di masa depan yang tidak mudah untuk diprediksi. Sebagai contoh akhir-akhir ini seiring dengan meningkatnya kesadaran untuk mengkonsumsi pangan sehat dan timbulnya perhatian/pandangan yang negatif terhadap pangan berkolesterol maka terdapat perubahan permintaan pada industri peternakan untuk menghasilkan daging dengan kandungan lemak rendah (lean) dan tentunya dihasilkan dari suatu bangsa ternak tertentu. Melalui program persilangan permintaan pasar tersebut dapat direspon dengan membentuk suatu bangsa baru yang lebih sesuai dengan kondisi lingkungan dan pasar di masa mendatang. Beberapa bangsa sapi terkenal seperti Brangus, Santa Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004 57 Gertrudis, Droughmaster, dan lain-lain merupakan bangsa sapi unggul sebagai hasil persilangan dari beberapa macam bangsa sapi yang masih dipertahankan ada/dilestarikan.
Program pelestarian sapi Bali perlu didukung dengan metode identifikasi kemurnian sapi Bali yang cepat, mudah dan akurat, agar pelestarian sapi Bali pada suatu wilayah tertentu dapat berhasil dilakukan tanpa ada keraguan terhadap kemurniannya. Metode identifikasi kemurnian sapi Bali yang andal juga sangat membantu penentuan pemilihan pejantan sapi Bali sebagai pejantan yang dipergunakan di Balai Inseminasi Buatan sehingga pencemaran genetik pada wilayah yang ditentukan sebagai tempat pelestarian sapi Bali murni dapat dihindari. Serangkaian penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi penciri genetik sapi Bali yang diharapkan dapat dipergunakan sebagai metode untuk menentukan kemurnian sapi Bali. Tim Peneliti Fapet IPB dan BIB Singosari (2000) telah merintis untuk mulai mencari sifat fisik/fenotip (struktur bulu) maupun dari aspek molekuler (protein darah dan DNA mikrosatelit) yang dapat dipergunakan sebagai penciri bangsa sapi Bali. Walaupun sulit dijustifikasi, terdapat perbedaan struktur bulu rambut sapi Bali dengan struktur bulu bangsa sapi lainnya (Simental Limousin dan Brangus). Namun hasil penelitian ini perlu diuji lagi di lapangan khususnya dalam penurunan alel dari tetua ke progeninya. Hasil pengamatan pada lokus Haemoglobin β menunjukkan bahwa alel haemoglobin βX (Hb βX) adalah khas dan mirip seperti yang dilaporkan Namikawa et al. (1982b) bahwa alel haemoglobin βX (Hb βX) adalah alel yang paling umum ditemukan pada sapi Bali dan pada banteng sebagai leluhur dari sapi Bali. Dari hasil penelitian pada empat bangsa sapi dengan sampel yang terbatas, WINAYA (2000) mengemukakan bahwa lokus DNA mikrosatelit HEL9 pada sapi Bali adalah monomorfik, sedangkan pada bangsa sapi lain (Madura, PO dan Brangus) adalah polimorfik. Hasil penelitian Tim Peneliti Fapet IPB dan BIB Singosari (2000) dengan sampel terbatas pada tiga bangsa sapi lainnya (Simmental, Brangus, dan Limousin) memperkuat hasil penelitian tersebut. Selain itu diperoleh juga hasil bahwa lokus DNA mikrosatelit INRA035 pada seluruh sampel sapi Bali yang diteliti konsisten mempunyai dua alel sehingga kemungkinan dapat dipergunakan sebagai penciri genetik untuk sapi Bali. Handiwirawan (2003) melakukan pengujian lokus DNA mikrosatelit HEL9 dan INRA035 dalam sampel yang lebih besar pada sapi Bali di Propinsi Bali. Hasil identifikasi genotipe sapi Bali dan genotipe banteng sebagai pembanding menunjukkan bahwa alel A dan alel B merupakan alel yang monomorfik pada lokus mikrosatelit INRA035 pada sapi Bali sehingga dapat digunakan sebagai penciri genetik sapi Bali. Alel A pada lokus mikrosatelit HEL9 merupakan alel dengan frekuensi yang sangat tinggi pada sapi Bali (92,9%) yang dapat dipergunakan sebagai penciri genetik pendukung pada sapi Bali karena semua banteng yang diuji juga memiliki alel tersebut. Dari beberapa hasil penelitin tersebut penggunaan lokus mikrosatelit INRA035 sebagai penciri genetik sapi Bali dapat digunakan, namun sebaiknya dikombinasikan dengan pengujian lokus HEL9 dan identifikasi fenotipe (pola warna tubuh, bentuk tanduk dan struktur bulu) agar diperoleh hasil yang lebih akurat.

Perbaikan mutu genetik sapi Bali

Program pemuliaan khusus untuk sapi Bali telah ditetapkan dan dijalankan pemerintah. Pokok-pokok pemuliaan sapi Bali seperti dikemukakan SOEHADJI (1990) adalah meliputi:
1. Menjalankan peternakan murni sapi Bali di Pulau Bali, NTB, Pulau Timor dan beberapa daerah di Sulawesi Selatan sebagai sumber bibit sapi Bali secara nasional,
2. Melakukan uji performans dan uji zuriat di breeding centre P3Bali Pulukan Bali untuk memperoleh pejantan sapi Bali unggul yang digunakan untuk kawin alam atau produksi semen beku,
3. Membentuk populasi dasar sebagai sumber gen yang unggul dan membentuk kelompok sapi Bali betina unggul dan dipelihara di Pusat Pembibitan Sapi Bali di Pulukan, Bali dan Anamina, Dompu-Sumbawa,
4. Melakukan inseminasi buatan berskala nasional untuk mempercepat aliran gen yang unggul dari pejantan sapi Bali unggul. Proyek Pembibitan dan Pengembangan Sapi Bali (P3Bali) dilaksanakan sebagai upaya untuk memperbaiki mutu genetik sapi Bali di Propinsi Bali melalui seleksi, uji performans dan uji keturunan (progeny test).

Dalam kegiatan ini, pejantan elit yang dihasilkan dari uji keturunan akan dipergunakan BIB untuk Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004 58 diambil semennya guna memperbaiki mutu genetik sapi Bali di seluruh Indonesia. Dari kegiatan ini terlihat bahwa performans produksi dan reproduksi sapi Bali di P3Bali dilaporkan lebih baik dibandingkan sapi Bali yang terdapat di Propinsi Bali, NTB, NTT dan Sulsel (PANE, 1990). SUKMASARI (2001) dengan menggunakan metode BLUP (best linear unbiased prediction) mendapatkan hasil bahwa sapi Bali yang dipelihara di breeding center Pulukan mempunyai rataan nilai pemuliaan dugaan lebih tinggi dibandingkan di instalasi populasi dasar (Marga, Baturiti, Selemadeg, Penebel). Namun demikian kecenderungan genetik yang merupakan perubahan rataan nilai pemuliaan dari suatu populasi dalam waktu tertentu untuk bobot sapih dan bobot setahun didapati menurun dengan kemiringan berturut-turut –0,60 dan – 0,30, sedangkan kecenderungan genetik pertambahan bobot badan harian pascasapih meningkat dengan kemiringan 1,74 (analisa data dari 1991-2000). Secara keseluruhan, mulai tahun 1983 sampai 1999 kecenderungan genetik sapi Bali di P3 Bali mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Dari hasil penelitiannya tersebut, SUKMASARI (2003) juga menyarankan bahwa seleksi agar didasarkan pada nilai pemuliaan agar seleksi dapat dilakukan lebih akurat sehingga kecenderungan genetik sapi Bali di P3 Bali terus meningkat. Di luar wilayah pemurnian (Propinsi Bali) kebijakan pemerintah untuk melakukan persilangan melalui IB dapat dilakukan dengan bangsa sapi lain. Sejak diperkenalkannya teknologi IB, persilangan dengan semen-semen Bos taurus dan Bos indicus banyak dilakukan, termasuk pada sapi Bali di daerah-daerah kantong bibit (NTT, NTB dan Sulsel). Jika dikaitkan dengan kerentanan sapi Bali terhadap penyakit Jembrana dan MCF, program persilangan berdampak positif terhadap kasus serangan penyakit tersebut. Sapi hasil persilangan memiliki ketahanan yang lebih tinggi terhadap penyakit tersebut karena pewarisan gen sapi Bos taurus, dan dengan demikian wilayah pengembangan sapi persilangan ini dapat lebih luas. Di wilayah kantong bibit, berdasarkan pengalamannya peternak memiliki kesukaan pada bangsa-bangsa tertentu dan memilih semen-semen dari bangsa tersebut untuk dipergunakan dalam IB, seperti Simmental, Limousin, Hereford dan Brangus. Tidak jarang anak betina hasil persilangan di-IB dengan bangsa sapi yang sama kembali dan demikian seterusnya sehingga komposisi genetik sapi Bos taurus menjadi terus meningkat. Tindakan yang demikian dipastikan akan menurunkan kemampuan adaptasi sapi hasil persilangan tersebut pada lingkungan yang keras sehingga produktivitasnya menjadi menurun. Sampai saat ini pada wilayah-wilayah tersebut banyak terbentuk keturunan sapi Bali dengan komposisi genetik yang tidak jelas. Evaluasi terhadap persilangan pada sapi Bali nampaknya perlu dilakukan untuk menentukan komposisi genetik sapi persilangan yang sesuai dengan kondisi lingkungan dimana sapi tersebut dikembangkan. Seiring dengan berjalannya Otonomi Daerah maka masingmasing wilayah dengan kondisi lingkungan yang berbeda akan mempunyai program persilangan untuk menghasilkan sapi yang cocok dengan sistem usaha dan kemampuan sumberdaya alamnya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Beberapa kelebihan yang dimiliki sapi Bali, seperti mempunyai fertilitas dan persentase karkas yang tinggi, kadar lemak daging yang rendah, dan mampu memanfaatkan pakan berkualitas rendah, serta memberikan respon cukup baik dalam perbaikan pakan, menunjukkan bahwa sapi bali berpotensi dan cocok untuk dikembangkan pada kondisi lapang di Indonesia pada umumnya. Pelestarian sapi Bali sangat penting dilakukan mengingat potensi besar yang dimilikinya untuk dipergunakan sebagai “bahan baku” pembentukan bangsa sapi baru untuk saat ini dan di masa depan dalam mengantisipasi permintaan pasar yang terkadang sukar untuk
diprediksi. Perbaikan mutu genetik melalui seleksi di wilayah peternakan murni dan persilangan dengan Bos taurus di kantongkantong sumber bibit mampu memperlihatkan perbaikan produktivitas. Program persilangan untuk sapi Bali yang saat ini dilakukan perlu dibuat lebih jelas arahnya agar produksinya dapat lebih optimal.

DAFTAR PUSTAKA

AMRIL, M. A., S. RASJID dan S. HASAN. 1990.
Rumput lapangan dan jerami padi amoniasi
urea sebagai sumber hijauan dalam
penggemukan sapi Bali jantan dengan
makanan penguat. Pros. Seminar Nasional
Sapi Bali. 20-22 September 1990. Fakultas
Peternakan Universitas Udayana. Denpasar.
ARKA, I.B. 1984. Pengaruh Penggemukan terhadap
Kualitas Daging dan Karkas pada sapi Bali.
Disertasi. Universitas Pajajaran, Bandung.
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
59

Read more.....
Custom Search
 
task