Custom Search
anatomy - histology - veterinary - cells - biotechnology

THERMOREGULASI

PENDAHULUAN

Walaupun sejenis bakteri tertentu mampu bertahan hidup pada sumber air panas yang temperaturnya mencapai 70oC, kebanyakan organisme dan sudah pasti semua jenis mamalia (binatang menyusui) hidupnya terbatas pada lingkungan yang memungkinkan temperatur tubuhnya tetap berada di bawah 40oC. Demikian pula, binatang harus mampu mempertahankan temperatur tubuhnya agar tidak menurun sampai jauh di bawah titik beku air. Hal tersebut terkait dengan adanya fakta bahwa laju reaksi kimia dipengaruh oleh temperatur. Dengan demikian, proses biokimia yang berlangsung dalam tubuh binatang juga akan dipengaruhi oleh temperatur dan karena itu berlangsung secara terbatas. Laju kecepatan sebagian besar reaksi kimia akan berlipat ganda dengan setiap peningkatan temperatur 10oC.

Sejumlah besar senyawa biokimia, dan utamanya protein, menjadi labil karena panas. Senyawa tersebut secara kimiawi berubah karena terdedah (terpapar) dengan temperatur 40-41oC atau lebih. Perubahan tersebut pada giliran berikutnya akan mempengaruhi peran senyawa tersebut dalam proses fisiologi yang berlangsung dalam tubuh. Misalnya, peningkatan temperatur akan menyebabkan perubahan kimiawi (denaturasi) protein yang merupakan enzim sehingga enzim tersebut menjadi tidak aktif. Selanjutnya, reaksi kimia yang dikatalisis oleh enzim tersebut tidak bisa berlangsung dengan sepatutnya.

Sebaliknya, karena terdedah dengan temperatur lingkungan yang sangat dingin, pembentukan kristal es dalam jaringan secara umum dapat merusak membrana sel dan hal ini pada giliran berikutnya dapat menyebabkan kematian. Dengan demikian, walaupun binatang mampu tetap hidup pada kisaran temperatur tubuh sampai 40oC, mereka akan memperoleh keuntungan kimiawi bila dapat mempertahankan temperatur tubuhnya dekat dengan batas tertinggi dari kisaran temperatur yang dapat ditolerirnya karena proses biokimianya berlangsung dengan sempurna pada temperatur tersebut.

Temperatur dari sebagian besar badan air berada dalam kisaran yang dapat diterima oleh makhluk hidup. Akan tetapi, temperatur udara sangat berfluktuasi atau berada dalam kisaran yang sangat lebar. Karena itu, upaya mempertahankan temperatur tubuh agar berada dalam kisaran normal (thermoregulasi) jauh lebih penting artinya pada organisme yang hidup di darat ketimbang organisme air.

Binatang memperoleh panas melalui:

(1). aktivitas metabolisme (produksi energi) yang berlangsung dalam tubuhnya dan

(2). dengan menyerap panas dari lingkungan. Bahkan, bila lingkungan sekitarnya (misalnya udara sekitar) lebih dingin daripada jaringan atau tubuh binatang, makhluk tersebut masih juga dapat menyerap energi radiasi matahari. Sebaliknya, binatang dapat kehilangan panas tubuhnya melalui: KONDUKSI, KONVEKSI, RADIASI, atau EVAPORASI (penguapan air).

Uraian secara rinci dari masing-masing cara hilangnya panas tubuh tersebut akan diberikan pada kesempatan berikutnya.

Kehilangan panas yang terpenting pada lingkungan air adalah melalui konduksi. Akan tetapi, pada lingkungan udara, konduksi tidak penting artinya karena udara merupakan konduktor atau penghantar panas yang jelek. Bahkan, udara sebenarnya merupakan insulator atau pelindung panas yang baik. Kehilangan panas melalui konveksi, radiasi, dan evaporasi penting artinya pada lingkungan udara.

PENGGOLONGAN BINATANG

Ditinjau dari segi kemampuannya untuk mengatur temperatur tubuh (thermoregulasi), binatang dapat digolongkan ke dalam:


(a). binatang berdarah dingin (cool-blooded animals) atau

(b). binatang berdarah hangat (warm-blooded animals).

Penggolongan tersebut didasarkan kepada kenyataan apakah binatang tersebut terasa dingin atau hangat badannya bila disentuh. Walaupun istilah tersebut tidak sepenuhnya memadai, kriteria itu masih sering digunakan orang dalam menggolongkan binatang. Jadi, vertebrata (binatang bertulang belakang) berdarah dingin meliputi ikan, amfibia, dan reptilia, sedangkan vertebrata berdarah hangat meliputi unggas dan mamalia (binatang menyusui).

Secara lebih tepat, berdasarkan kemampuan binatang untuk mempertahankan temperatur tubuhnya agar relatif konstan dan tidak berubah karena dipengaruhi oleh temperatur sekitarnya, kita dapat menggolongkan binatang ke dalam: binatang ektotherm dan binatang endotherm.

Binatang ektotherm temperatur tubuhnya sangat ditentukan atau tergantung kepada temperatur lingkungan tempat mereka saat itu berada. Temperatur tubuhnya berubah sesuai dengan temperatur lingkungannya. Semua binatang memang menghasilkan panas metabolisme untuk mempertahankan temperatur tubuhnya. Namun, binatang ektotherm tidak mampu menyesuaikan produksi panas metabolismenya dan/atau mengendalikan kehilangan panas tubuhnya melalui mekanisme fisiologi. Karena itu, temperatur tubuhnya tidak bisa konstan dan akan berubah mengikuti perubahan temperatur luar tubuhnya. Jenis binatang yang demikian itu hanya mampu mempertahankan temperatur tubuhnya melalui penyesuaian perilaku, misalnya, dengan berpindah tempat mencari bagian habitat yang lebih dingin atau lebih hangat sesuai dengan yang diinginkannya. Contohnya, pada siang hari yang panas terik di gurun pasir, ular atau kadal akan bersembunyi di bawah bebatuan atau di dalam lubang.

Sebaliknya, binatang endotherm mampu melangsungkan thermoregulasi melalui mekanisme penyesuaian perilaku dan yang lebih penting pengaturan fisiologi. Melalui mekanisme pengaturan fisiologi, binatang tersebut mampu meningkatkan produksi panas metabolismenya dan sekaligus menekan kehilangan panas tubuhnya bila mereka terdedah dengan lingkungan dingin. Sebaliknya, produksi panasnya akan ditekan dan kehilangan panas tubuhnya akan ditingkatkan bila mereka berada dalam lingkungan yang panas. Semuanya itu merupakan upaya untuk mempertahankan temperatur tubuh agar selalu berada dalam kisaran normal. Mereka juga mampu melakukan penyesuaian perilaku dengan berbagai macam cara. Secara umum, binatang endotherm mempunyai temperatur tubuh yang lebih tinggi ketimbang binatang ektotherm. Pada kedua jenis binatang tersebut, kegagalan untuk mempertahankan temperatur tubuh agar berada dalam kisaran yang dapat diterima oleh tubuhnya berakhir dengan kematian.

Masih ada lagi istilah lain yang digunakan untuk menjelaskan hubungan temperatur lingkungan dengan temperatur tubuh vertebrata. Istilah yang digunakan adalah:

(a). binatang poikilotherm,

(b). binatang homeotherm, dan

(c). binatang heterotherm.


Binatang poikilotherm adalah binatang yang temperatur tubuhnya selalu mendekati temperatur lingkungan tempat binatang tersebut saat itu berada. Dengan demikian, istilah poikilotherm itu pada hakikatnya merupakan sinonim dari ektotherm. Sebaliknya, binatang homeotherm merupakan binatang yang mampu mempertahankan temperatur tubunya agar tetap konstan atau mendekati konstan walaupun temperatur lingkungannya sangat bervariasi atau berubah-ubah. Binatang yang demikian itu tentu saja merupakan binatang endotherm.

Namun, tidak semua binatang endotherm merupakan binatang homeotherm. Beberapa binatang endotherm temperatur tubuhnya bisa berfluktuasi cukup lebar dan temperatur tubuhnya itu tidak lagi berubah ketika telah mendekati batas kritis temperatur yang dapat ditolerirnya. Binatang yang memiliki kemampuan thermoregulasi yang demikian itu disebut binatang heterotherm. Salah satu contoh binatang heterotherm adalah unta. Unta mampu bertahan hidup pada lingkungan gurun yang sangat panas di siang hari dan sangat dingin di malam hari karena memiliki kemampuan thermoregulasi yang demikian itu.


AKLIMASI DAN AKLIMATISASI

Pada kondisi percobaan, sejumlah besar vertebrata mampu mengatur kesensitifan tubuhnya sampai mendekati tercapainya temperatur ekstrim. Dalam hal ini, binatang yang terdedah selama beberapa waktu dengan temperatur yang mendekati batas temperatur yang kritis bagi kehidupannya menjadi lebih toleran temperatur. Selain itu, batas temperatur kritisnya menjadi makin lebar. Sebagai contoh, bila suatu spesies ikan yang biasanya mati pada temperatur air 38oC dibiarkan selama beberapa hari terus menerus terdedah dengan temperatur 37oC, ikan tersebut selanjutnya mungkin bisa bertahan hidup lingkungan temperatur 38oC. Kematiannya mungkin terjadi bila mereka terdedah dengan temperatur 39oC atau lebih. Penyesuaian toleransi terhadap panas (hanya melibatkan temperatur saja) seperti itu disebut dengan aklimasi (acclimation).

Kondisi alami tidak sama dengan kondisi percobaan. Pada kondisi alami, makhluk hidup terdedah dengan berbagai variabel lingkungan, tidak hanya dengan temperatur saja. Dalam artinya yang paling luas, lingkungan dapat digolongkan ke dalam 2 komponen utama.

(1). Faktor lingkungan abiotik, yaitu semua faktor fisik dan kimiawi dari lingkungan. Faktor abiotik atau fisik lingkungan yang penting artinya bagi kehidupan dan produktivitas hewan meliputi temperatur udara, kelembaban, radiasi matahari, dan angina.

(2). Faktor lingkungan biotik, yaitu semua interaksi antarentitas biologi seperti makanan, air, pemangsaan, penyakit, dan interaksi social serta seksual.

Perubahan faktor lingkungan abiotik utamanya seperti perubahan musiman dalam periode penyinaran (menentukan lama waktu siang hari dan malam hari), ketersediaan pakan, dll. yang berlangsung dalam jangka waktu yang relatif lama dapat mempengaruhi toleransi binatang. Pada kondisi yang demikian itu, berlangsung pengaturan fisiologi secara lebih mendalam sehingga memungkinkan binatang tersebut mampu bertahan hidup pada lingkungan yang berubah tersebut. Bentuk penyesuaian diri terhadap kondisi lingkungan yang berubah atau baru tersebut dan berlangsung dalam jangka waktu lama itu dikenal sebagai aklimatisasi (acclimatization). Secara umum, bentuk penyesuaian diri terhadap berbagai faktor lingkungan itu dikenal sebagai adaptasi (adaptation).

Dalam kuliah ini diberikan bentuk thermoregulasi pada hewan vertebrata mulai dari yang paling rendah tingkatannya, yaitu ikan sampai ke binatang menyusui (mamalia). Aktivitas thermoregulasi melalui mekanisme fisiologi yang terjadi pada mamalia khususnya hewan ternak tentu saja akan dibahas secara rinci.


THERMOREGULASI PADA IKAN

Ikan mempunyai temperatur internal yang sedikit lebih tinggi daripada temperatur air sekitarnya. Akan tetapi, bedanya itu biasanya kecil. Laju metabolisme pada ikan rendah. Perpindahan panas antara jaringan ikan dan lingkungan air adalah tinggi. Jadi, panas tubuh ikan banyak yang hilang melalui konduksi. Kehilangan panas terjadi hampir secepat panas tersebut dihasilkan. Dengan demikian, ikan selalu berusaha agar temperatur tubuhnya berada dalam kisaran normal.

Aktivitas ikan yang meningkat menghasilkan panas yang lebih banyak. Akan tetapi, karena ikan memerlukan banyak ventilasi lewat insang, laju kehilangan panasnya juga meningkat. Temperatur tubuh sebagian besar ikan sekitar pada umumnya 1oC lebih tinggi daripada temperatur air. Pada sejumlah ikan aktif yang ukurannya lebih besar, misalnya ikan marlin, beda temperatur tersebut bisa mencapai 5-6oC.

Karena itu, pengaturan temperatur pada ikan bergantung sepenuhnya kepada pengaturan perilaku berupa pemilihan bagian lingkungan air yang mempunyai temperatur yang dapat diterima oleh ikan tersebut. Bila suatu spesies ikan terperangkap dalam lingkungan air yang temperaturnya berada di atas kisaran temperatur normalnya (lebih hangat) atau di bawahnya (lebih dingin), ikan tersebut akan beraklimatisasi dengan berbagai cara.

Beberapa spesies bahkan mampu mengatasi perubahan temperatur secara mendadak sampai batas tertentu. Sebagai contoh, ada jenis ikan Ciprinus kecil yang hidup di kolam gurun pasir di Arizona, USA. Selama musim kering, kolam tersebut sangat dangkal dan hangat sekali airnya. Namun, ketika musim hujan tiba, badai hujan dapat meningkatkan volume air sampai 10 kali lipat dan menurunkan temperatur air sampai 10oC atau lebih dalam waktu beberapa menit saja. Hal menarik lainnya adalah bahwa selama musim kering terjadi pengendapan mineral pada permukaan kolam. Datangnya badai secara tiba-tiba dan cepat itu menyebabkan terjadi pelarutan mineral dengan cepat. Akibatnya, ikan yang hidup di kolam tersebut juga mengalami perubahan salinitas lingkungan secara mendadak dan drastis. Namun, ikan tersebut mampu mengatasi berbagai perubahan lingkungan tersebut dan bertahan hidup.


THERMOREGULASI PADA AMFIBIA

Amfibia yang hidup di air (amfibia akuatik) mempunyai aktivitas thermoregulasi yang sangat mirip dengan yang berlangsung pada ikan. Binatang tersebut hampir sepenuhnya bergantung kepada pemilihan bagian lingkungan untuk mempertahankan temperatur tubuhnya agar tetap berada dalam kisaran temperatur yang dapat ditolerirnya.

Amfibia yang hidup di darat mengatur temperatur tubuhnya terbatas melalui penyesuaian perilaku. Dalam beberapa hal, binatang tersebut mampu menahan temperatur rendah (dingin) dalam jangka waktu lama dengan melakukan hibernasi (hibernation), yaitu tidur dengan menekan proses fisiologi yang berlangsung dalam tubuhnya sampai batas minimum. Ihwal hibernasi tersebut akan diuraikan secara lebih rinci pada kesempatan yang lain.

Bagi sejumlah besar amfibia, upaya pengaturan panasnya untuk mengatasi temperatur tinggi (panas) berlangsung dengan sangat efektif karena kulitnya yang basah sehingga memungkinkan terjadinya penguapan air (kehilangan panas melalui evaporasi). Namun, hilangnya air dari dalam tubuhnya pada giliran berikutnya akan merupakan faktor penghambat. Kehilangan air secara berlebihan akan mengakibatkan binatang tersebut mengalami dehidrasi dan mungkin saja menyebabkan kematian.

Amfibia gurun pasir melakukan aktivitas pembenaman diri atau disebut estivasi (estivation) – aktivitas yang mirip dengan hibernasi. Selama hari-hari yang panas di musim panas, amfibia tersebut membenamkan dirinya dalam tanah dan kembali muncul ke permukaan tanah ketika temperatur lingkungan sudah tidak terlalau mencekam lagi.

Bila amfibia semi-akuatik mampu melangsungkan thermoregulasi dengan baik pada temperatur tinggi (panas), aktivitas thermoregulasinya pada temperatur rendah (dingin) jauh lebih sulit dilakukan. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa kulitnya pada hakikatnya merupakan permukaan respirasi (tempat terjadinya pertukaran udara pernafasan). Dengan demikian, dengan mudah dapat terjadi kehilangan panas tubuh melalui kulit pada saat temperatur lingkungannya tinggi.

THERMOREGULASI PADA REFTILIA

Karena kulitnya yang kering, reptilia lebih sulit kehilangan panas tubuh dan juga lebih mampu mengendalikan hilangnya air tubuh ketimbang amfibia. Fungsi ginjalnya yang lebih baik juga dapat lebih menahan atau mengurangi hilangnya air keluar tubuh. Adaptasi perilaku terhadap fluktuasi temperatur berlangsung secara lebih baik ketimbang yang berlangsung pada amfibia.

Tergantung kepada temperatur tubuhnya pada suatu waktu tertentu, reptilia akan memilih lingkungan yang hangat atau dingin untuk tempat menghabiskan waktunya. Selama malam hari yang dingin di gurun pasir, reptil mungkin menghabiskan waktunya dengan berada pada batu karang atau jalan yang dikeraskan untuk dapat menyerap sisa-sisa panas matahari yang dipancarkan oleh benda padat tersebut. Sebaliknya, selama siang hari yang panas, binatang tersebut akan membenamkan dirinya dalam pasir atau di bawah bahan yang dapat menahan panasnya sinar matahari. Dengan demikian, reptil mungkin akan menerdedahkan dirinya langsung di bawah sinar matahari atau berada di bawah naungan sehingga dengan demikian luas permukaan kulitnya makin banyak atau makin sedikit terdedah dengan radiasi matahari.

Sejumlah besar reptil mampu melakukan sedikit aktivitas thermoregulasi fisiologi dan adanya kemampuan itu menunjukkan mulai berkembangnya kemampuan homeothermi (kemampuan mempertahankan temperatur tubuh agar konstan atau mendekati konstan) pada binatang bertulang belakang (vertebrata). Binatang tersebut mempunyai pusat thermoregulasi pada sistem saraf pusat yang secara refleks merangsang terjadinya aktivitas terengah-engah atau perubahan tekanan darah. Aktivitas terengah-engah (panting) dapat meningkatkan hilangnya panas keluar tubuh. Meningkatnya tekanan darah menyebabkan panas secara lebih cepat terbawa ke permukaan tubuh dan dikeluarkan melalui proses radiasi (pemancaran panas) dan konveksi (hilangya panas terbawa oleh angin). Beberapa jenis reptil yang lebih besar ukuran tubuhnya mempunyai sedikit kemampuan untuk mengatur laju metabolismenya. Sebagai contoh, ular piton India mengerami telurnya dengan secara aktif mengkontraksikan ototnya untuk menghasilkan panas.

KESIMPULAN

Setiap organisme hidup, khususnya binatang bertulang belakang berusaha mempertahankan temperatur tubuhnya agar berada dalam kisaran yang mampu ditolerir oleh tubuhnya. Secara umum, upaya thermoregulasi itu meliputi penyesuaian perilaku, seperti misalnya mencari bagian lingkungan yang temperaturnya sesuai dengan yang diinginkan. Thermoregulasi yang demikian berlangsung pada vertebrata tingkat yang lebih rendah, yaitu ikan, amfibia, dan reptilia.

Thermoregulasi yang lebih penting perannya dan utamanya berlangsung pada bangsa burung dan binatang menyusui adalah penyesuaian fisiologi. Melalui mekanisme fisiologi ini, panas yang dihasilkan oleh tubuh melalui metabolisme diupayakan agar seimbang dengan panas yang hilang keluar tubuh melalui beberapa cara. Dengan demikian, temperatur tubuh binatang tersebut akan selalu berada dalam kisaran normal. Kegagalan dalam mengatur temperatur tubuh dalam kisaran normal tersebut pada giliran berikutnya dapat menyebabkan kematian.

Ada beberapa istilah yang dapat digunakan yang dapat dipakai untuk menggolongkan binatang berdasarkan kemampuan thermoregulasinya. Itu meliputi antara lain binatang poikilotherm, homeotherm, dan heterotherm; binatang ektotherm dan endotherm; serta binatang berdarah hangat dan binatang berdarah dingin.


THERMOREGULASI PADA UNGGAS DAN MAMALIA


1. ADAPTASI TERHADAP TEMPERATUR RENDAH

Kemampuan untuk mengendalikan temperatur tubuh (thermoregulasi) pada bangsa unggas dan mamalia telah berkembang jauh lebih baik ketimbang bangsa ikan, amfibia, dan reptilia. Selain dengan melakukan berbagai penyesuaian perilaku seperti yang biasa dilakukan oleh binatang dari tingkatan yang lebih rendah itu, kemampuan untuk mengendalikan temperatur tubuh melalui mekanisme fisiologi pada unggas dan mamalia telah berkembang dengan baik. Berbagai bentuk penyesuaian fisiologi terhadap perubahan kondisi lingkungan itulah yang menjadi fokus uraian dalam kuliah tentang thermoregulasi selanjutnya.

Pada hakikatnya, binatang mampu melakukan aklimasi (penyesuaian diri terhadap perubahan temperatur saja) dan aklimatisasi (penyesuaian terhadap perubahan berbagai faktor lingkungan abiotik). Aklimasi dan aklimasi terhadap temperatur rendah lebih berkembang pada vertebrata endotherm ketimbang vertebrata ektotherm. Respon itu meliputi penyesuaian produksi hormon, yaitu hormon thiroksin oleh kelenjar thiroid dan hormon adrenokortikosteroid oleh korteks kelenjar adrenalis. Peningkatan sekresi kedua hormon tersebut dapat meningkatkan laju metabolisme yang dapat meningkatkan produksi panas sehingga dengan demikian meningkatkan ketahanan umum dari binatang tersebut terhadap cekaman dingin.

Bila keterdedahan terhadap temperatur dingin itu berlangsung dalam jangka waktu lama, misalnya puluhan sampai ratusan tahun, terjadi bentuk penyesuaian secara fisik. Binatang tersebut mengembangkan sistem insulasi panas (pelindung panas) yang bertambah baik, misalnya dengan meningkatkan timbunan lemak di bawah kulit dan makin lebatnya bulu yang menutupi tubuhnya. Lemak banyak digunakan sebagai sumber energi karena selama pengoksidasiannya dapat dihasilkan panas dalam jumlah yang lebih banyak daripada selama pengoksidasian glukose dalam berat yang sama.

Respon fisiologi lainnya terhadap temperatur dingin meliputi refleks menggigil dan timbulnya aktivitas pilomotor. Menggigil merupakan aktivitas kontraksi dan relaksasi otot yang dapat menghasilkan energi dalam bentuk panas tubuh. Pada kondisi lingkungan yang dingin, menggigil merupakan salah satu bentuk penyesuaian fisiologi yang bersifat involunter (tidak dapat dikendalikan oleh kehendak) dan yang dengan cepat dapat menghasilkan panas untuk mengatasi cekaman luar yang dingin tersebut. Biasanya aktivitas menggigil itu tidak sepenuhnya dapat mengatasi cekaman dingin.

Kontraksi otot pilomotor kutaneus karena adanya rangsangan luar yang dingin menyebabkan tegaknya bulu atau rambut yang menutupi tubuh. Tegaknya bulu atau rambut itu menyebabkan makin banyaknya lapisan udara yang berada di dekat kulit dan udara itu merupakan insulator panas. Dengan demikian, lapisan udara insulasi itu dapat sedikit mengurangi keterdedahan kulit terhadap temperatur dingin sehingga mengurangi hilangnya panas tubuh ke lingkungan tersebut. Pada manusia, “bulu merinding” yang tampak pada kulit timbul karena aktivitas pilomotor yang demikian itu. Namun, aktivitas itu tidak secara nyata dapat menekan pengaruh lingkungan yang dingin karena bulu tubuh pada manusia jumlahnya tidak memadai.

Mamalia akuatik (air) tertentu seperti binatang muskrat dapat menahan lapisan udara di antara bulunya bahkan ketika membenamkan diri di bawah air. Binatang tersebut mampu tetap beraktivitas secara aktif bahkan ketika temperatur lingkungan mendekati titik beku. Mamalia yang tidak berbulu atau berambut sebaliknya bergantung kepada timbunan lemak bawah-kulit yang tebal untuk menahan panas tubuhnya. Insulasi panas lebih penting artinya pada unggas dan mamalia yang ukuran tubuhnya kecil ketimbang yang besar karena perbedaan nisbah (rasio) permukaan tubuh terhadap volume tubuhnya.


Bahan diskusi: mengapa bayi manusia atau binatang yang baru lahir perlu dihangatkan tubuhnya dengan misalnya menempatkan lampu penghangat atau memberikan bahan (selimut, jerami, dll.) yang dapat memberikan

kehangatan?



Anggota gerak, karena luas permukaannya yang relative besar, mungkin mengalami kehilangan panas yang relative banyak ke dalam lingkungan dingin. Kehilangan panas tersebut seringkali dapat diminimalkan pada mamalia yang hidup di daerah kutub karena mereka memiliki anggota gerak yang yang lebih pendek dan lebih mampat ketimbang mamalia kerabat dekatnya yang hidup di daerah beriklim sejuk.

Pada unggas dan mamalia daerah kutub tertentu, temperatur anggota geraknya dapat menurun sampai jauh di bawah temperatur tubuhnya dan anggota geraknya itu masih menerima pasokan darah dalam jumlah memadai. Pada binatang yang demikian itu, jaringan pada anggota geraknya itu akan lebih toleran terhadap temperatur dingin daripada jaringan tubuh lainnya. Hal ini merupakan suatu contoh aklimatisasi regional. Selain itu, beda temperatur antara jaringan anggota gerak dengan lingkungan luar dapat dipertahankan tanpa terjadi kehilangan panas karena adanya mekanisme pertukaran panas “lawan-arus” (counter-current mechanism).

Mekanisme lawan arus itu beroperasi menurut prinsip yang sama dengan yang terjadi pada pernapasan insang dan penggelembungan kantung renang. Arteri yang membawa darah hangat ke anggota gerak terentang melewati dan sejajar dengan vena yang membawa darah dingin menuju ke jantung. Bahkan, vena tersebut membentuk jaring-jaring dan membelit arteri. Karena itu, sebagian besar darah arteri panasnya digunakan untuk menghangatkan darah vena yang dingin itu. Akibatnya, hanya sedikit panas tubuh yang akhirnya tiba di anggota gerak yang di tempat itu panas tubuh tersebut dengan mudah hilang ke lingkungan luar yang dingin. Ikan paus dan anjing laut mempunyai mekanisme pengaturan vaskuler yang demikian itu pada sirip dan kepesnya, Bagian tubuh ini, tidak seperti bagian tubuh lainnya, tidak dilindungi oleh lapisan lemak pelindung panas. Demikian pula, penguin mempunyai pembuluh darah serupa pada sayapnya sehingga kehilangan panas melalui sayapnya dapat ditekan.

Binatang yang mempunyai mekanisme pertukaran panas lawan-arus tidak hanya terbatas pada binatang yang hidup di daerah beriklim dingin. Mamalia tropis tertentu seperti binatang sloth, lori, armadillo, dan anteater yang primitif sangat sensitif dengan temperatur lingkungan yang sedikit lebih rendah ketimbang temperatur tubuhnya. Binatang tersebut mampu melakukan sedikit thermoregulasi dengan cara lain, tetapi mereka mempunyai pengaturan vaskuler yang mirip dengan yang telah diuraikan sebelumnya itu.

Mekanisme pertukaran panas lawan-arus juga terdapat pada anggota gerak dari manusia. Selain itu, mekanisme tersebut juga terdapat pada pembuluh darah yang menuju ke testis dan mempunyai arti penting dalam mempertahankan temperatur testis. Darah arteri yang hangat yang menuju ke testis akan “didinginkan” oleh darah vena yang meninggalkan testis menuju ke jantung. Dengan demikian, temperatur testis tidak sampai meningkat karena “dipanaskan” oleh darah arteri; peningkatan temperatur testis akan dapat mengganggu proses spermatogenesis (pembentukan spermatozoa) pada testis.

Air laut di tempat yang sangat dalam di semua derajat lintang temperaturnya sangat rendah (sangat dingin). Pada vertebrata yang mampu menyelam sampai jauh ke dalam laut, terjadi mekanisme pengaturan pertukaran panas berupa terhentinya peredaran darah menuju ke kulit. Dengan demikian, dapat ditekan hilangnya panas tubuh ke lingkungan air yang dingin itu.

Binatang homeotherm yang hidup di darat juga mampu mengatur peredaran darah kulitnya sebagai respon atas temperatur udara yang hangat atau dingin. Pembuluh darah perifernya bisa berdilatasi (melebar) pada kondisi lingkungan panas atau berkontriksi (mengecil) pada temperatur luar yang dingin. Mekanisme penyesuaian fisiologi tersebut akan diuraikan lagi secara lebih rinci pada kesempatan lain.

Bangsa unggas dan mamalia dalam beberapa keadaan akan berupaya menghindarkan dirinya dari lingkungan dingin dengan jalan berpindah tempat (migrasi) jarak jauh. Contohnya adalah migrasi besar-besaran dari bison di benua Amerika pada zaman dahulu atau binatang mamalia lainnya di benua Afrika. Spesies binatang yang lain mampu mengatasi penurunan temperatur tubuhnya dengan jalan menjadi tidak aktif atau melakukan hibernasi, yang akan dibahas kemudian.

Kiranya perlu dibahas ihwal thermoregulasi pada makhluk yang masih muda atau baru lahir. Vertebrata yang baru lahir atau baru menetas pada umumnya kurang mampu melakukan thermoregulasi ketimbang individu yang lebih tua dari spesies yang sama. Mereka lebih kecil, mempunyai lebih sedikit bulu, dan respon atau pengaturan fisiologinya belum berkembang dengan baik. Untuk itu, perlu tersedia sarang dan perawatan induk yang memadai. Di samping itu, tempat serta waktu berbiak perlu dipilih atau diseleksi agar anak yang baru lahir memperoleh keuntungan dari iklim dan musim terbaik yang dialami selama pertumbuhan dan perkembangannya. Unggas dan mamalia yang belum dewasa menghindari temperatur ekstrim pada sarang dan lubang dalam tanah tempat mereka hidup. Mereka menggulung dirinya untuk memperkecil keterdedahan permukaan kulitnya terhadap temperatur luar atau berdesak-desakan dengan binatang lain dari jenisnya yang sama untuk meminimumkan panas tubuh yang hilang ke lingkungan luar sehingga panas tubuhnya bisa dipertahankan. Binatang yang baru lahir mempunyai simpanan lemak coklat di bawah kulitnya dalam jumlah memadai yang berfungsi sebagai insulator panas dan dengan mudah dapat dioksidasi untuk menghasilkan energi panas.





B. ADAPTASI TERHADAP TEMPERATUR TINGGI


Ihwal adaptasi binatang terhadap temperatur tinggi atau lingkungan panas itu mungkin lebih penting artinya bagi kita dalam mempelajari thermoregulasi pada binatang. Kita hidup di daerah tropis dan dalam beberapa hal kita mengimpor hewan, khususnya ternak eksotik, dari daerah beriklim sejuk untuk dipelihara di lingkungan panas di negeri kita ini. Mau tidak mau ternak imporan itu akan mengalami cekaman panas dan karena itu perlu diberi lingkungan yang temperaturnya memungkinkan bagi mereka untuk tumbuh, berproduksi, dan bereproduksi sepatutnya. Berikut ini akan diuraikan secara umum berbagai upaya binatang untuk mengatasi temperatur lingkungan yang panas.

Pendinginan tubuh perlu dilakukan oleh binatang yang mengalami hyperthermia, yaitu meningkatnya temperatur tubuh di atas kisaran temperatur tubuh normalnya karena berbagai penyebab, baik internal maupun eksternal. Pendinginan tubuh biasanya memerlukan penguapan air tubuh dan dengan demikian binatang juga perlu beradaptasi untuk mengendalikan hilangnya air tubuh tersebut. Penguapan air memerlukan panas dan panas itu berasal dari dalam tubuh. Dengan dipakainya panas tubuh untuk menguapkan air, maka terjadi pendinginan tubuh atau temperatur tubuh akan menurun. Pendinginan tubuh dengan cara penguapan itu terjadi pada saat binatang mengeluarkan keringat dan juga pada saat terengah-engah (panting) pada sebagian besar mamalia. Unggas juga melakukan aktivitas yang mirip dengan terengah-engah. Beberapa jenis mamalia yang tidak menghasilkan keringat (misalnya binatang pengerat – rodensia) membasahi bulunya dengan jalan menjilatnya sehingga dengan demikian terjadi pendinginan tubuh melalui penguapan air.

Selain itu, unggas dan mamalia dapat melakukan penyesuaian perilaku untuk menghindari pengaruh temperatur tinggi dengan jalan membenamkan dirinya dalam tanah atau mencari tanah yang lembab untuk tempat berbaringnya. Unggas kadang-kadang mengipas-ngipasi dirinya dengan menggunakan sayapnya untuk meningkatkan hilangnya panas tubuh melalui konveksi (dibawa oleh angin). Di samping itu, pada kondisi tertentu unggas mendebui dirinya (memberi dirinya debu) untuk meningkatkan hilangnya panas melalui konduksi (hilangnya panas tubuh terbawa oleh debu).

Meningkatnya peredaran darah ke kulit yang merupakan penyesuaian fisiologi dapat meningkatkan hilangnya panas melalui konveksi dan radiasi. Berbagai mekanisme fisiologi untuk mengatasi cekaman temperatur luar yang tinggi (dan juga yang rendah) pada hewan mamalia, khususnya ternak piaraan akan diberikan pada kesempatan berikutnya.

Pada kondisi tertentu, lapisan udara pelindung yang ada di antara bulu merupakan faktor yang secara efektif dapat mengurangi peningkatan temperatur tubuh karena tubuh mendapat energi radiasi dari sinar matahari (terdedah dengan teriknya sinar matahari) atau pancaran panas (radiasi) dari lingkungan fisik (tanah, bebatuan, dll). Seperti yang telah disampaikan dalam kesempatan sebelumnya, udara merupakan konduktor (penghantar) panas yang jelek dan bahkan merupakan insulator panas yang baik. Perlu juga disampaikan bahwa sifat udara yang demikian itu, juga dipakai untuk mengurangi pengaruh temperatur luar yang dingin. Contohnya, misalnya, penggunaan lapisan kaca ganda pada pintu rumah dan pesawat terbang.


Bahan Diskusi: Mengapa orang yang hidup di daerah yang temperaturnya tinggi dan dengan kelembaban yang rendah (misalnya di gurun pasir) seringkali memakai penutup kepala dan jubah yang besar dan longgar yang dapat menutupi hampir seluruh tubuhnya? Ditinjau dari segi thermoregulasi, tepatkah cara berpakaian yang demikian itu bagi kita di Indonesia?


VERTEBRATA HETEROTHERM

Beberapa jenis binatang tidak mampu mempertahankan temperatur tubuhnya yang konstan walaupun mereka digolongkan ke dalam binatang endotherm. Binatang tersebut dapat menerima atau mentolerir perubahan temperatur tubuh dalam kisaran relatif besar pada waktu-waktu tertentu. Namun, temperatur tubuhnya tidak lagi berubah hanya ketika temperaturnya itu telah mendekati batas temperatur kritisnya. Contohnya adalah kemampuan unta untuk mengatasi perubahan temperatur tubuhnya sampai beberapa derajat Celsius dan itu menguntungkan ditinjau dari segi kemampuan bertahan hidup pada lingkungan gurun pasir yang panas dan kering. Kelebihan yang demikian itu tidak dimiliki oleh homeotherm pada umumnya.

Demikian juga halnya dengan jenis kelelawar. Sejumlah besar kelelawar bersifat homeotherm ketika mereka tidak tidur atau sedang aktif. Namun, mereka menjadi bersifat heterotherm, hampir-hampir poikilotherm ketika sedang tidur. Bahkan, mereka seringkali melakukan hibernasi atau dalam status tidak aktif (torpor) selama musim tertentu. Dalam hal ini, sifat poikilothermi atau status tidak aktif itu bertujuan untuk mengurangi kebutuhan akan zat makanan selama tidur atau pada musim-musim tertentu ketika sedikit tersedia pasokan makanan yang biasa dimakannya (misalnya serangga).

Beberapa spesies kelelawar bahkan berpindah tempat (bermigrasi) ke tempat yang lebih tinggi yang temperaturnya sangat rendah. Dengan demikian, mereka dapat melakukan hibernasi yang sebenarnya. Jenis kelelawar yang lain bermigrasi jarak jauh seperti yang dilakukan oleh jenis burung tertentu. Tujuannya adalah agar mereka tetap bisa hidup pada daerah iklim yang temperaturnya memungkinkan mereka memperoleh makanan yang memadai sepanjang musim.

Lebih lanjut, jenis burung tertentu (misalnya poorwill dan hummingbird) juga memperlihatkan status tidak aktif selama mereka tidur. Tupai tanah Alaska bersifat homeotherm selama musim panas, tetapi menjadi heterotherm dan melakukan hibernasi pada msim dingin. Selain itu, beruang hitam,opossum, dan beberapa jenis mamalia lainnya akan tidur lelap (bukan hibernasi sebenarnya) selama beberapa waktu. Selama periode tersebut, temperatur tubuhnya menurun sampai ke tingkat yang sangat rendah.

Perubahan fisiologi yang terjadi pada saat hibernasi jauh lebih drastis ketimbang perubahan fisiologi selama tidur lelap atau tidur dengan status tidak aktif. Pada saat hibernasi, terjadi perubahan dalam sistem peredaran darah yang mirip sekali dengan yang berlangsung selama penyelaman ke tempat yang sangat dalam, yang terjadi pada vertebrata yang mampu melakukannya. Perubahan itu antara lain berkurangnya pasokan darah dari dan ke daerah kulit, utamanya dari otot rangka. Namun, pasokan darah menuju ke otak dan jantung tetap dipertahankan, tetapi dengan tekanan yang menurun. Selain itu, juga terjadi perubahan metabolisme. Bila binatang setelah bangun dari tidur lelap atau status tidak aktif kesadarannya pulih kembali dalam waktu beberapa menit saja, setelah bangun dari hibernasi biasanya diperlukan waktu sampai beberapa jam sebelum kesadaran binatang itu pulih sepenuhnya.

Status estivasi (estivation) pada binatang yang mampu melakukannya sangat mirip dengan hibernasi. Akan tetapi, kemampuan tersebut terkait dengan upaya untuk menghindari atau mengatasi periode kekeringan atau keadaan kurang tersedianya makanan dan tidak untuk mengatasi pengaruh luar yang dingin.


KESIMPULAN

Mekanisme thermoregulasi pada bangsa unggas dan mamalia telah berkembang jauh lebih sempurna ketimbang yang berlangsung pada bangsa ikan, amfibia, dan reptilia. Selain melalui penyesuaian perilaku, upaya mengatur temperatur tubuh pada unggas dan mamalia itu lebih mengandalkan mekanisme penyesuaian fisiologi. Hal itu meliputi antara lain perubahan derajat metabolisme, peredaran darah, perubahan anatomi jaringan dan organ tubuh, dll. Kebanyakan spesies unggas dan mamalia termasuk binatang homeotherm.

Mekanisme thermoregulasi yang dapat dikatakan unik terdapat pada binatang heterotherm. Pada golongan binatang itu, kemampuan untuk tidur lelap, berada dalam status tidak aktif, hibernasi, atau estivasi semuanya dimaksudkan agar binatang tersebut mampu mengatasi cekaman temperatur luar yang dingin sekali atau panas.

PENGATURAN FISIOLOGI DALAM UPAYA MEMPERTAHANKAN TEMPERATUR TUBUH (THERMOREGULASI) PADA MAMALIA HOMEOTHERM


A. PENDAHULUAN

Keseimbangan Energi dalam tubuh ditentukan oleh energi yang masuk ke dalam tubuh dalam bentuk makanan yang dimakan dan energi yang dikeluarkan oleh tubuh. Energi yang dikeluarkan itu meliputi energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan temperatur tubuh agar tetap berada dalam kisaran normal yang sempit. Selain itu, energi tersebut juga dipakai untuk mempertahankan cadangan energi dalam tubuh, yang utamanya dalam bentuk simpanan lemak.

Pengendalian yang sangat cermat dalam keseimbangan energi melibatkan beberapa sistem pengaturan fisiologi yang terintegrasi dalam hipotalamus. Perbedaan yang sangat nyata antara sel hipotalamus dan sel otak lainnya terletak pada kesensitifan sel hipotalamus terhadap perubahan temperatur dan perubahan kimiawi yang terjadi di lingkungan. Sebaliknya, sel otak lainnya, misalnya sel pada bagian thalamus, hanya memberikan respon terhadap informasi yang diterima dalam bentuk impuls saraf yang telah diproses oleh reseptor perifer.

Hipotalamus tidak hanya responsif atau memberikan respon terhadap berbagai bentuk rangsangan (stimulus), tetapi secara bersamaan dan secara unik juga mampu mengatur berbagai sistem fisiologi yang terlibat untuk tercapainya homeostasis. Sebagai contoh, pengaturan temperatur tubuh tercapai melalui pengendalian respon kardiovaskuler, laju metabolisme, dan sekresi keringat. Respon ini pada giliran berikutnya mempengaruhi sistem lainnya dengan “prioritas rendah”, seperti misalnya pengaturan tekanan osmotik, glukose darah, dan konsumsi makanan.


B. PENGATURAN TEMPERATUR TUBUH

Sel mamalia khususnya sangat peka terhadap temperatur yang ekstrem. Peningkatan temperatur lingkungan secara drastis dapat membunuh sebagian besar sel sementara temperatur yang sangat dingin dapat sangat menurunkan proses metabolisme sehingga terjadi gangguan pada sel atau jaringan.

Dalam keadaan normal, temperatur tubuh dan dengan demikian temperatur lingkungan sel dipertahankan dalam kisaran yang agak sempit oleh aktivitas thermostatis hipotalamus. Sehubungan dengan itu, thermostat hipotalamus perlu menerima informasi tentang temperatur tubuh dan memiliki mekanisme fisiologi yang dapat memberikan respon untuk mengatur temperatur. Melalui mekanisme umpan-balik (feed-back mechanism) antara laju pemberian rangsangan oleh neuron hipotalamus (sel saraf) dan temperatur darah yang melewatinya, hipotalamus akan menyeimbangkan jumlah panas yang dihasilkan dengan jumlah panas yang dikeluarkan (hilang) dari tubuh.

Binatang yang mampu mempertahankan temperatur tubuhnya relatif konstan digolongkan ke dalam binatang homeotherm. Kebanyakan hewan menyusui (mamalia) dan unggas merupakan binatang homeotherm. Mereka juga disebut binatang endotherm untuk menunjukkan bahwa mereka mampu menghasilkan dan mengendalikan sumber panasnya sendiri. Masih ada lagi golongan binatang ektotherm atau poikilotherm dan uraian tentang hal itu telah disampaikan dalam kesempatan yang lain.

1. Pengaturan Temperatur Tubuh Secara Perilaku

Perilaku juga dipandang sebagai respon fisiologi, atau setidaknya penyesuaian perilaku binatang terhadap keadaan lingkungan berlangsung bersamaan dengan mekanisme fisiologi untuk mempertahankan temperatur tubuh tetap berada dalam kisaran yang dapat diterima oleh tubuh. Adaptasi pengaturan temperatur tubuh secara perilaku dan fisiologi melibatkan sistem saraf yang sama, yang melibatkan hipotalamus dan sistem limbic (limbic system).

Adaptasi perilaku dilakukan oleh binatang endotherm dan utamanya oleh binatang ektotherm untuk memperluas kisaran temperatur lingkungan tempat mereka hidup. Contohnya, misalnya, ular dan kadal berjemur pada karang hangat di bawah sinar matahari; tikus gurun bersembunyi dalam lubang pada tanah sampai menurunnya temperatur di sore hari; manusia memakai baju hangat untuk mempertahankan temperatur tubuhnya sebanyak mungkin dan mengatur temperatur serta kelembaban dari ruangan tempat mereka bekerja dan tinggal.

Ada berbagai bentuk penyesuaian perilaku oleh binatang homeotherm terhadap temperatur luar yang dingin atau panas. Yang utama adalah pencarian bagian habitat atau lingkungan yang mempunyai temperatur dapat diterima atau ditolerir oleh binatangtersebut. Berikut ini diberikan beberapa contoh penyesuaian perilaku binatang terhadap lingkungan yang panas atau dingin, yang bersamaan dengan itu terjadi penyesuaian proses fisiologi dalam tubuhnya.

(1). Kerbau berkubang dalam lumpur untuk mengurangi pengaruh lingkungan yang panas. Perilaku itu dapat meningkatkan hilangnya panas tubuh melalui air atau lumpur lewat konduksi.

(2). Anak hewan (misalnya babi) yang baru lahir akan tidur bergerombol atau bertumpukan bila temperatur lingkungan rendah (dingin). Perilaku ini dapat menekan hilangnya panas tubuh terbawa angin (konveksi) dan memancar keluar (radiasi).

(3). Pada cuaca panas, ayam kadang-kadang mendebui dirinya utuk meningkatkan panas tubuh yang hilang melalui konduksi terbawa oleh debu.

(4). Bila merasa kepanasan, anjing seringkali terengah-engah (panting) untuk mening-katkan hilangnya panas tubuh utamanya melalui evaporasi (penguapan air liur).

(5). Pada keadaan dingin, manusia utamanya akan menggigil dan itu merupakan refleks (tidak bisa dikontrol oleh kehendak) yang bertujuan untuk meningkatkan produksi panas tubuh melalui kontraksi otot rangka.


2. Pengaturan Temperatur Tubuh Melalui Penyesuaian Fisiologi

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, penyesuaian fisiologi untuk mempertahankan temperatur tubuh sangat nyata perannya pada binatang homeotherm. Pada hakikatnya, kondisi homeostatis temperatur tubuh bisa tercapai karena adanya keseimbangan antara panas yang dihasilkan serta diterima oleh tubuh (produksi panas) dan panas yang hilang dari tubuh masuk ke lingkungan luar (disipasi panas). Berikut ini akan disampaikan berbagai proses yang berlangsung dalam tubuh, yang terkait dengan produksi panas serta upaya untuk mempertahankan agar panas tersebut tidak dengan mudah hilang ke luar tubuh. Selain itu, akan diuraikan pula cara hilangnya panas tubuh masuk ke lingkungan.


2.1. Produksi Panas

Tubuh memperoleh panas sebagai akibat dari aktivitas metabolisme jaringan tubuh dan dari lingkungan luar bila lingkungan luar itu lebih tinggi temperaturnya (lebih panas) ketimbang temperatur tubuh. Bentuk penyesuaian fisiologinya adalah bahwa panas yang dihasilkan oleh tubuh akan meningkat dengan menurunnya temperatur luar. Sebaliknya, temperatur sekitar (ambient temperature) yang tinggi akan menurunkan jumlah panas yang panas yang dihasilkan oleh tubuh. Hal itu dapat dikaitkan melambatnya aktivitas metabolisme, menurunnya luaran kerja, dan menurunnya tonus otot. Secara umum, mekanisme yang berlangsung untuk menghasilkan panas meliputi peningkatan aktivitas metabolisme jaringan, peningkatan aktivitas otot, dan produksi panas (thermogenesis) tanpa aktivitas menggigil.

(a). Peningkatan aktivitas metabolisme jaringan

Meningkatnya jumlah bahan makanan (zat makanan) yang dioksidasi dalam jaringan pada giliran berikutnya akan meningkatkan produksi panas. Aktivitas metabolisme jaringan selain dipengaruhi oleh ketersediaan zat makanan yang dapat dioksidasi, juga ditentukan oleh ketersediaan oksigen dalam jaringan. Selain itu, aktivitas tersebut juga dikendalikan secara hormonal. Hormon yang dihasilkan oleh kelenjar adrenalis (kortisol dan aldosteron) dan yang dihasilkan oleh kelenjar thiroid (thiroksin) semuanya dapat meningkatkan oksidasi jaringan.

Telah disimpulkan bahwa pada lingkungan panas, proses aklimasi (adaptasi terhadap temperatur saja) dan aklimatisasi (adaptasi terhadap faktor abiotik lingkungan/iklim) menyebabkan meningkatnya temperatur tubuh dan menurunnya aktivitas kelenjar thiroid. Namun, pada awalnya tidak diketahui dengan pasti apakah menurunnya fungsi thiroid itu disebabkan oleh menurunnya konsumsi pakan yang biasa terjadi pada situasi panas. Namun, kini telah diketahui bahwa temperatur sekitar yang tinggi berpengaruh langsung menurunkan aktivitas thiroid dan itu berlangsung pada tingkat hipotalamus.

Berlawanan dengan pengaruh panas, temperatur dingin meningkatkan fungsi thiroid. Respon hormon thiroid terhadap lingkungan dingin, pada sapi misalnya, telah diketahui dipengaruhi oleh tingkat konsumsi pakan. Peningkatan konsumsi pakan cenderung menurunkan konsentrasi hormon thiroksin dalam plasma darah. Respon thiroid terhadap temperatur dingin adalah nyata pada sapi selama 36 jam pertama keterdedahannya.

Kortisol telah diketahui dengan pasti sebagai hormon kalorigenik (dapat menghasilkan energi/panas). Secara umum, keterdedahan terhadap panas untuk jangka waktu lama menurunkan konsentrasi kortisol dalam plasma darah. Demikian pula, sapi yang terdedah panas (35oC) selama 24 jam saja telah menunjukkan penurunan yang bermakna dalam konsentrasi hormon aldosteron plasma.

(b). Peningkatan aktivitas otot

Jaringan otot (otot rangka utamanya) membentuk hampir 50% dari berat badan. Panas yang dihasilkannya selama kontraksi isotonik (yang berfungsi memper-tahankan tonus otot konstan pada tingkat tertentu) dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan peregangan otot secara involunter (berlangsung otomatis dan tidak dapat dikendalikan oleh kehendak). Peningkatan panas itu tercapai pada saat menggigil, yang merupakan kontraksi otot rangka secara involunter dan ritmis itu. Tentu saja aktivitas otot yang berlangsung dengan disengaja dapat lebih meningkatkan lagi produksi panas (lihat uraian berikut).

(c). Thermogenesis (produksi panas) tanpa aktivitas menggigil

Produksi panas tanpa aktivitas menggigil merupakan cara utama hewan dan manusia beraklimasi terhadap dingin. Meningkatnya laju metabolisme lemak (dan dalam derajat yang lebih rendah – metabolisme karbohidrat) menghasilkan panas, yang sangat tidak tergantung kepada kontraksi otot. Hal itu dapat dibuktikan, misalnya melalui percobaan dengan tikus. Tikus yang telah beraklimasi dingin ototnya dilumpuhkan dengan obat kurare. Binatang itu tidak mampu menggigil atau bergerak. Akan tetapi, mereka mampu melipatgandakan produksi panasnya bila diterdedahkan dengan temperatur 5oC sehingga dengan demikian mampu mempertahankan temperatur tubuhnya.

Indikasi lain tentang sifat kimiawi dari tipe thermogenesis itu dapat diketahui pada mamalia muda. Mamalia muda, termasuk bayi manusia, tidak mampu menggigil, tetapi tetap mampu menghasilkan panas untuk mempertahankan temperatur tubuhnya relatifkonstan pada lingkungan dingin. Mamalia muda itu mempunyai tipe lemak khusus, yaitu lemak coklat yang terdapat di sekitar bahu, pada leher, sepanjang tulang belakang, dan pada tulang dada. Lemak coklat cara metabolismenya unik; energi kimia yang dihasilkan dalam pengoksidasian asam lemak diubah utamanya menjadi panas.

Laju produksi panasnya dikendalikan oleh hormon noradrenalin yang dihasilkan oleh saraf simpatik yang secara langsung menginervasi lemak. Thermogenesis tanpa menggigil ini tidak terjadi pada tikus yang telah beraklimasi dingin dan disimpatektomi (dipotong saraf simpatiknya) yang kemudian diterdedahkan dengan lingkungan dingin. Hormon kortisol dan thiroksin yang disekresikan sebagai respon terhadap cekaman dingin dapat meningkatkan pengaruh noradrenalin tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hipotalamus merupakan pusat pengintegrasi respon otomatis dan neuroendokrin.


2.2 Retensi Panas

Setelah tubuh menghasilkan panas dengan cara seperti yang disebutkan di atas itu, tubuh selanjutnya berusaha untuk mempertahankan (retensi) panas tersebut agar tidak langsung hilang keluar tubuh, lebih-lebih ketika hewan tersebut terdedah dengah lingkungan yang sangat dingin. Hal sebaliknya akan terjadi bila hewan terdedah dengan temperatur lingkungan yang tinggi; berbagai penyesuaian fisiologi akan terjadi untuk meningkatkan panas tubuh yang hilang ke lingkungan luar. Berikut ini disampaikan mekanisme retensi panas tubuh itu.


(a). Vasokonstriksi pembuluh darah

Panas dapat dipertahankan dalam tubuh hewan yang terdedah dengan temperatur dingin melalui refleks vasokonstriksi (penyempitan) pembuluh darah. Dengan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah, akan berkurang jumlah darah yang mengalir dari bagian dalam tubuh, yang temperaturnya hangat, ke bagian perifer atau permukaan tubuh, yang temperaturnya lebih rendah. Dengan demikian, akan dapat diminimumkan kehilangan panas tubuh melalui radiasi dan mekanisme kehilangan panas lainnya (misalnya konveksi atau konduksi).

Namun, bila hewan terdedah dengan lingkungan yang temperaturnya tinggi (panas), hal yang sebaliknya akan terjadi. Pembuluh darah akan berdilatasi (melebar diameternya) sehingga jumlah darah yang mengalir ke permukaan tubuh akan meningkat. Pada giliran berikutnya, jumlah panas yang hilang dari tubuh hewan tersebut masuk ke dalam lingkungan akan meningkat.


(b). Insulasi tubuh

Lapisan lemak di bawah kulit atau dalam tubuh dan penutup bulu dapat mencegah hilangnya panas tubuh masuk ke lingkungan dingin. Pada hewan berbulu, kontraksi refleks dari otot kecil pada dasar bulu di kulit menyebabkan bulu dapat berdiri tegak (piloereksi). Berdirinya bulu itu membentuk semacam “selimut penahan panas” untuk mengurangi hilangnya panas dari permukaan tubuh melalui radiasi. Pada manusia yang relatif tidak berbulu, hal berdirinya bulu tersebut terlihat sebagai “bulu merinding” yang tidak mempunyai peran bermakna dari sudut thermoregulasi. Namun, manusia mampu menekan hilangnya panas tubuh dengan cara memakai baju hangat atau selimut yang pada hakikatnya merupakan lapisan penghalang hilangnya panas tubuh ke lingkungan luar.

Binatang yang dalam jangka waktu yang sangat lama (misalnya berabad-abad) hidup di lingkungan yang sangat dingin melakukan berbagai bentuk adaptasi terhadap lingkungan tersebut. Salah satunya adalah sangat berkembangnya lapisan lemak penghalang panas atau pelindung dingin tersebut. Cobalah perhatikan bagaimana bentuk tubuh binatang yang hidup di Kutub Utara atau Selatan itu, misalnya gajah laut, singa laut, penguin, dsb. Tubuhnya akan ditutupi oleh lapisan lemak yang tebal.


(c). Rete mirabilis

Organ gerak dari hewan yang hidup di lingkungan yang sangat dingin akan mengalami suatu bentuk adaptasi untuk meminimumkan kehilangan panas tubuhnya. Jaringan arteri dan vena kecil pada organ gerak tersebut tertata sedemikian rupa sehingga darah hangat dalam arteri yang menuju ke permukaan tubuh akan memanasi darah vena yang meninggalkan permukaan tubuh menuju ke bagian dalam tubuh. Dengan demikian, temperatur darah arteri tersebut ketika tiba di perifer (permukaan tubuh) telah meningkat sehingga panas yang dilepaskan dari darah menuju ke lingkungan akan berkurang. Perlu disampaikan bahwa makin besar perbedaan temperatur antara dua objek yang melakukan pertukaran panas makin besar panas yang dipertukarkan; panas akan berpindah dari objek yang temperaturnya lebih tinggi ke objek yang temperaturnya lebih rendah.

Mekanisme pengaturan temperatur yang seperti itu dikenal sebagai mekanisme lawan-arus (counter-current mechanism). Seperti yang telah disampaikan dalam kuliah sebelumnya, mekanisme seperti itu tidak terdapat hanya pada makhluk yang hidup di lingkungan dingin saja. Mekanisme itu juga terdapat pada beberapa jenis makhluk termasuk pada manusia dan berfungsi untuk melindungi organ tertentu agar temperaturnya tidak terlalu tinggi sehingga dapat mengganggu fungsinya. Contoh yang jelas adalah mekanisme lawan-arus pada sistem pembuluh darah yang menuju dan dari testis.


2.3. Kehilangan atau Pengalihan Panas

Seperti yang telah disampaikan dalam kesempatan sebelumnya, hilangnya panas tubuh dari dalam tubuh masuk ke dalam lingkungan sekitar atau ke objek lain berlangsung melalui radiasi, konduksi, konveksi, dan evaporasi. Besarnya panas yang dipertukarkan (hilang atau diperoleh) tergantung kepada besarnya beda temperatur antara kedua objek tersebut. Kondisi homeostasis dalam temperatur tubuh dapat dicapai bila panas yang dihasilkan atau diterima oleh tubuh sama dengan panas yang hilang dari dalam tubuh. Berikut ini akan disampaikan cara hilangnya panas tubuh tersebut.


(a). Pengalihan panas melalui radiasi dan konveksi

Binatang dapat memperoleh panas radiasi atau kehilangan panas tubuhnya melalui radiasi, tergantung kepada yang mana lebih tinggi temperaturnya, binatang atau sekitarnya. Yang pasti binatang menerima panas radiasi dari sinar matahari. Di samping itu, pada lingkungan panas, binatang juga menerima panas yang dipantulkan dari tanah. Jumlah panas yang dipantulkan oleh tanah merupakan fungsi atau ditentukan oleh warna dan ada tidaknya vegetasi penutup tanah.

Selain itu, besarnya beban panas juga merupakan fungsi dari luas permukaan tubuh yang terdedah radiasi dan warna serta struktur bulu binatang tersebut. Bulu warna hitam akan mempunyai daya serap yang mendekati 1, sementara bulu putih 0,37 dan bulu merah 0,65. Pada binatang yang mempunyai penutup bulu, tempat penyerapan panas radiasi tidak pada kulit melainkan pada bulu. Karena itu, secara umum dapat dikatakan bahwa bulu hitam berkaitan dengan beban panas yang lebih besar pada binatang ketimbang bulu putih. Binatang yang berbulu hitam akan lebih banyak menyerap panas ketimbang binatang yang berbulu putih.

Radiasi panas ke luar tubuh terjadi bila temperatur tubuh lebih tinggi daripada temperatur atmosfer (sekitar). Karena tubuh yang hangat mengeluarkan atau memancarkan panas (beradiasi), panas tersebut akan menghangatkan lapisan udara yang langsung berkontak dengan permukaan tubuh tersebut. Udara yang dihangatkan itu selanjutnya akan bergerak ke atas karena menjadi lebih ringan. Sementara itu, udara yang lebih dingin (temperaturnya lebih rendah) akan berpindah menggantikannya. Cara hilangnya panas seperti itu, yaitu panas tubuh hilang terbawa oleh angin disebut dengan konveksi.

Setiap hal yang dapat menahan berpindahnya lapisan udara di permukaan tubuh, karena dipanaskan oleh tubuh, akan dapat mengurangi laju kehilangan panas secara konveksi. Bulu yang ada di permukaan tubuh dapat menahan lapisan udara dekat kulit sehingga cenderung mengurangi kehilangan panas konvektif. Dengan demikian, lapisan udara yang terperangkap di antara bulu bertindak sebagai insulator (penahan) panas dan derajat insulasinya merupakan fungsi dari ketebalan lapisan udara tersebut. Karena itu, binatang yang telah beradaptasi dengan lingkungan panas akan berbulu pendek. Selain itu, selama binatang beraklimatisasi terhadap panas, perubahan fisiologi utama yang terjadi adalah rontoknya bulu dan menurunnya insulasi eksternal (lapisan lemak bawah kulit).

Pergerakan udara yang lebih kuat, misalnya tiupan angin, pada waktu mengipasi tubuh, atau saat berlari, akan menyebabkan hilangnya panas tubuh konvektif secara lebih efektif. Hal itu merupakan konveksi yang dipaksakan. Perlu ditegaskan bahwa bila temperatur udara lebih tinggi ketimbang temperatur kulit, perpindahan udara akan mendorong pengalihan panas ke dalam tubuh. Bila temperatur udara sama dengan temperatur kulit, tidak terjadi pengalihan panas baik secara konveksi ataupun konduksi.

Lebih jauh, hilangnya panas tubuh melalui radiasi akan paling efisien bila udara didinginkan, dikurangi kelembabannya, dan diusahakan terus mengalir. Hal itulah yang merupakan prinsip dari sistem pendinginan ruangan (air conditioning).

Seperti yang telah disampaikan sebalumnya, tubuh juga bisa menerima panas lewat radiasi. Pada lingkungan yang panas, tubuh menerima pancaran panas radiasi dari sinar matahari atau dari objek (benda) yang temperaturnya lebih tinggi daripada temperatur tubuh. Bahkan, pada lingkungan dingin pun tubuh akan menerima radiasi matahari apabila terdedah dengan sinar matahari.


(b). Pengalihan panas melalui konduksi

Pada prinsipnya, konduksi adalah cara pertukaran atau pengalihan panas antara dua objek yang berkontak secara langsung; panas akan berpindah dari objek yang temperaturnya lebih tinggi ke objek yang lebih rendah temperaturnya. Derajat pengalihan panas akan tergantung kepada keadaan atau sifat dari bahan (objek) yang berkontak dengan kulit, khususnya konduktivitas panasnya (daya alih panas secara konduksi). Pada binatang yang sedang berdiri, misalnya, adanya lapisan udara di sekitar kulit berarti bahwa sebagian besar pengalihan panas itu berlangsung ke udara. Karena udara mempunyai konduktivitas panas yang buruk, pengalihan panas secara konduksi itu kecil artinya bagi keseluruhan hilangnya panas tubuh ke lingkungan. Lebih lanjut, pada binatang yang sedang berdiri, pengalihan panas ked an dari tanah akan berlangsung melalui telapak kaki. Dalam hal itu, luas permukaan yang berkontak akan relatif kecil jika dibandingkan dengan luas permukaan tubuh binatang tersebut.

Akan tetapi, bila binatang merebahkan dirinya pada permukaan yang dingin atau basah, pengalihan panas konduktifnya akan lebih besar. Panas yang dialihkan itu besarnya akan bergantung kepada: (1). daya konduksi panas dari objek yang diajak berkontak; (2). perbedaan temperatur antara kedua objek yang berkontak; dan (3). luas permukaan yang berkontak. Bila temperatur udara atau tanah tempat hewan itu berbaring lebih tinggi ketimbang temperatur kulit, hal sebaliknya akan terjadi. Binatang tersebut yang akan memperoleh panas melalui konduksi dan itu akan menambah beban panas metabolis (menambah panas yang dihasilkan melalui metabolisme).

Penyesuaian perilaku atas luas permukaan melalui perubahan postur tubuh dapat mengubah besarnya panas yang dialihkan melalui konduksi. Binatang yang terdedah dengan lingkungan dingin akan menyesuaikan postur tubuhnya dan berupaya mencapai luas permukaan yang seminimum mungkin, yaitu berbentuk lingkaran. Hal itu dapat dicapai dengan cara mendekatkan anggota tubuh ke badannya dan berdesak-desakan atau menggerombol. Hal sebaliknya, merentangkan anggota gerak akan dapat memperbesar luas permukaan tubuh yang berkontak sehingga makin besar panas yang dialihkan lewat konduksi.


(c). Pengalihan panas melalui evaporasi (penguapan)

Hewan dapat meningkatkan kehilangan panas tubuhnya melalui penguapan air (evaporasi) dengan cara terengah-engah (panting) dan berkeringat. Namun, berkeringat lebih penting artinya ketimbang terengah-engah pada spesies hewan tertentu, misalnya sapi. Pada sapi yang terdedah dengan temperatur 40oC hampir 84% dari total kehilangan panas evaporasinya terjadi melalui penguapan keringat.

Tubuh pada hakikatnya akan terus kehilangan panas karena terjadi penguapan air secara terus menerus dari kulit dan paru-paru. Hal itu dikenal dengan perspirasi yang tidak disadari. Molekul air berdifusi keluar melalui pori-pori kulit dan juga melalui alveoli paru-paru untuk menjadi uap air dan pada giliran berikutnya terjadi disipasi (hilangnya) panas tersebut. Mekanisme itu tidak secara nyata berubah dengan berubahnya temperature tubuh sehingga dengan demikian itu bukan fenomena homeostasis.

Kehilangan panas melalui evaporasi air dari kulit dapat meningkat secara nyata karena meningkatnya produksi keringat. Namun, bila keluarnya keringat itu sangat deras untuk selama beberapa jam, sel kelenjar keringat menghasilkan sekresi yang lebih encer dengan menahan keluarnya kalium dan khlorida. Fenomena itu lebih banyak terjadi pada setidaknya orang yang telah beraklimatisasi dengan lingkungan tropis. Kelenjar keringatnya mampu menahan lebih banyak elektrolit ketimbang ketika orang tersebut pertama kali terdedah dengan lingkungan panas itu.

Binatang berbulu tidak memiliki kelenjar keringat yang fungsional. Binatang yang demikian itu mengeluarkan panas tubuhnya melalui aktivitas terengah-engah (pada anjing misalnya). Penguapan air yang terdapat pada lidah, mukosa mulut, saluran pernapasan dapat mendinginkan (menurunkan temperatur) organ tersebut. Selain itu, tikus akan menjilati tubuhnya dengan saliva dengan tujuan yang sama.


2.4. Keseimbangan Panas

Hewan homeotherm dikatakan mampu mempertahankan temperatur tubuhnya secara konstan pada kisaran temperatur lingkungan ekstrim yang lebar. Namun, hal itu tidak mutlak demikian. Terdapat fluktuasi harian dari temperatur tubuh. Hewan menunjukkan perubahan temperatur tubuh siang-malam, yang kurang dari 1oC dan sebagian besar peningkatan temperatur itu terjadi setelah makan. Perubahan itu merupakan perubahan temperatur tubuh bagian dalam. Temperatur tubuh bagian luar (perifer) sangat beragam sesuai dengan temperatur lingkungan.

Agar selalu tercapai keadaan homeostasis dalam temperatur tubuh, jumlah panas yang dihasilkan atau diperoleh dari lingkungan haruslah sama dengan panas yang hilang ke dalam lingkungan. Hal dapat ditunjukkan lewat persamaan berikut ini.

M = (+/-) K (+/-) C (+/-) R + E



Dengan:

M = produksi panas metabolik,

K = pertukaran panas melalui konduksi,

C = pertukaran panas melalui konveksi,

R = pertukaran panas melalui radiasi, dan

E = pertukaran panas melalui evaporasi.

(+/-) artinya panas bisa diperoleh atau bisa hilang dari tubuh

Jadi, dari persamaan di atas terlihat bahwa hewan dapat menerima panas atau kehilangan panas melalui konduksi, konveksi, dan radiasi tergantung kepada apakah temperatur tubuhnya lebih rendah atau lebih tinggi daripada lingkungan sekitarnya. Namun, hewan mengalami kehilangan panas evaporatif tanpa bisa menerimanya.

Ketidaknyamanan yang dirasakan (oleh manusia secara pasti) pada lingkungan yang panas dan lembab disebabkan karena kurang bekerjanya dua mekanisme pengeluaran panas, yaitu radiasi dan evaporasi. Pada iklim kering dan panas, penguapan keringat pada manusia menyebabkan hilangnya lebih dari 1,5 liter air per jam dan itu setara dengan hilangnya panas (untuk menguapkannya) sebesar 870 kalori. Namun, bila kelembaban udara terlalu tinggi untuk memungkinkan terjadinya penguapan keringat, keringat yang disekresikan oleh tubuh itu tidak memberikan sumbangan nyata bagi hilangnya panas secara evaporasi. Selain itu, karena perbedaan temperatur tubuh dan temperatur udara sangat kecil, atau bahkan tidak ada, hampir tidak ada panas tubuh yang hilang melalui radiasi.


C. PENGATURAN TEMPERATUR TUBUH OLEH HIPOTALAMUS

Dalam kesempatan sebelumnya, telah dibahas pengaturan temperatur tubuh (thermoregulasi) secara umum mulai dari vertebrata tingkat rendah (ikan, amfibia, dan reptilia) sampai ke vertebrata tingkat lebih tinggi (unggas dan mamalia). Fokus pembahasannya dipusatkan pada penyesuaian fisiologi yang berlangsung dalam tubuh vertebrata homeotherm, yang fungsinya mempertahankan temperatur tubuh agar tetap konstan. Selanjutnya, dalam materi berikut ini, akan dibahas secara lebih mendalam proses penyesuaian fisiologi tersebut dengan merujuk kepada peran hipotalamus sebagai pusat pengatur temperatur tubuh.


1. Penyensor Temperatur (Thermoreseptor)

Struktur saraf yang sensitif atau peka dengan temperatur atau dengan perubahan temperatur disebut dengan penyensor temperatur (thermoreseptor atau thermodetektor). Penyensor temperatur sentral atau pusat (thermodetektor pusat) utamanya terdapat pada hipotalamus, tetapi juga terdapat penyensor temperatur pada sumsum tulang belakang. Penyensor temperatur perifer (thermoreseptor perifer) terdapat kulit.

(a). Penyensor temperatur sentral (thermodetektor pusat)

Penyensor temperatur terpenting yang terlibat dalam pengaturan temperatur tubuh adalah neuron (sel saraf) yang terdapat di bagian anterior hipotalamus. Neuron tersebut memberikan respon terhadap perubahan temperatur darah yang beredar ke organ itu. Perubahan temperatur darah yang beredar ke hipotalamus sebesar hanya 0,01oC saja telah mampu merangsang bekerjanya mekanisme thermostatik sehingga menyebabkan adanya respon penyesuaian.

Tingkat responnya demikian tepat sesuai dengan perubahan temperatur sehingga panas dalam jumlah yang tepat pula akan dihasilkan atau dibuang ke luar tubuh agar temperatur darah tersebut segera pulih kembali ke keadaan normal (homeostasis). Terdapat neuron peka-dingin, tetapi tidak pasti peran spesifiknya dalam thermoregulasi.


(b). Penyensor temperatur perifer (thermoreseptor perifer)

Penyensor temperatur pada kulit, baik untuk panas (reseptor panas) atau pun dingin (reseptor dingin), mengirim informasi ke hipotalamus. Akan tetapi, perbedaan nyata antara temperatur kulit dan temperatur timpani (bagian otak) menunjukkan bahwa temperatur kulit tidak bertindak sebagai mekanisme pengatur bagi temperatur tubuh pada manusia, walaupun pada beberapa jenis mamalia kecil, seperti tikus dan kucing, kulitnya mungkin berperan lebih penting. Adanya perbedaan mekanisme pengaturan itu mungkin disebabkan oleh lebih tingginya rasio antara massa tubuh dan luas permukaan pada hewan yang ukuran tubuhnya besar. Rasio yang besar itu dapat menyebabkan terjadinya defisit (kekurangan) panas internal atau sebaliknya surplus (kelebihan) panas internal kecuali bila terdapat penyensor internal sensitif untuk mengontrol temperatur.

Bagian tertentu dari kulit dapat mempunyai arti yang lebih penting ketimbang bagian lainnya dalam hal pengendalian perifer temperatur tubuh. Sebagai contoh, pemanasan lokal kulit skrotum dari domba menyebabkan polipnea yang terjadi jauh lebih cepat ketimbang pemanasan bagian kulit yang lain dari hewan yang sama.

Hipotalamus Anterior (Preoptik) dan Pencegahan Melonjaknya Panas

Bagian anterior (preoptik) dari hipotalamus merupakan pusat dari mekanisme refleks yang dapat mencegah pelonjakan panas. Sel yang ada di bagian ini membentuk hubungan sinaptik penghambatan dengan neuron simpatik pada hipotalamus posterior. Sel hipotalamus preoptik juga membentuk hubungan sinaptik dengan neuron parasimpatik pada hipotalamus anterior. Sebagai akibat dari perangsangan saraf parasimpatik dan peniadaan tonus saraf simpatik, terjadi adaptasi untuk meningkatkan temperatur seperti berikut ini.

(1). Vasodilatasi pembuluh darah kecil pada kulit, yang meningkatkan aliran darah, yang pada giliran berikutnya meningkatkan jumlah panas yang hilang melalui radiasi.

(2). Meningkatnya aktivitas kelenjar keringat, yang disebabkan oleh meningkatnya aliran darah aliran darah ke kulit. Di samping itu, peningkatan aktivitas kelenjar juga disebabkan oleh meningkatnya perangsangan secara langsung oleh saraf parasimpatik terhadap kelenjar tersebut.


Hipotalamus Posterior dan Konservasi Panas

Hipotalamus posterior memberikan sedikit respon terhadap pendinginan yang bersifat lokal, tetapi mendapat masukan yang lebih kuat dari penyensor kulit perifer bila tubuh terdedah dengan dingin. Hipotalamus posterior menjadi sangat aktif ketika penyensor kulit temperatur-dingin meningkatkan laju perangsangannya. Aktivitas yang terjadi dalam hipotalamus posterior selanjutnya merangsang saraf simpatik dan menghambat saraf parasimpatik sampai tingkat tertentu. Sebagai akibat beralihnya ke aktivitas simpatik, bekerja beberapa mekanisme penting untuk mempertahankan (konservasi) panas sebagai berikut ini.

(1). Vasokonstriksi pembuluh darah kecil yang memasok darah ke kulit. Dengan demikian, terjadi penurunan pasokan darah ke jaringan perifer tubuh sehingga pada giliran berikutnya berkurang panas tubuh yang hilang melalui evaporasi.

(2). Penghambatan aktivitas kelenjar keringat yang disebabkan oleh menurunnya pasokan darah dan karena adanya penghambatan langsung oleh saraf simpatik.

(3). Terjadi peningkatan laju metabolisme jaringan. Aktivitas sistem saraf simpatik juga menyebabkan perangsangan terhadap medulla kelenjar adrenalis. Kelenjar tersebut memberikan reaksi berupa meningkatnya sekresi adrenalin masuk ke dalam darah. Adrenalin itu selanjutnya meningkatkan laju oksidasi zat makanan dalam jaringan, seperti yang juga dilakukan oleh hormon thiroksin. Hormon tersebut juga terlibat dalam thermogenesis kimiawi (produksi panas tanpa menggigil) setelah hewan melangsungkan aklimatisasi dingin.

(4). Menggigil disebabkan oleh meningkatnya aktivitas pusat motoris primer untuk menggigil, yang terletak di hipotalamus posterior. Neuron yang ada di pusat itu merangsang pembentukan jaring-jaring (retikuler) pada batang otak, yang mengakibatkan fasilitasi (perangsangan) saraf motoris pada sumsum tulang belakang. Hal tersebut menyebabkan tonus otot meningkat dan selanjutnya terjadi aktivitas menggigil secara ritmis. Menggigil dapat meningkatkan produksi panas 4 sampai 5 kali di atas tingkat produksi normal.


Interaksi Antara Mekanisme Pengaturan Panas Oleh Saraf dan Hormon

Telah disampaikan sebelumnya bahwa hormon terentu, misalnya adrenalin, noradrenalin, dan thiroksin, sangat penting artinya bagi thermogenesis tanpa aktivitas menggigil, yang dirangsang oleh temperatur rendah (dingin). Sekresi hormon tersebut meningkat karena adanya cekaman dingin. “Pusat” pengaturan panas di hipotalamus anterior (sistem saraf) berpartisipasi dalam pengendalian terhadap mekanisme melawan panas oleh hormon tersebut. Hal itu dapat dilihat dari fakta berikut ini

Pemanasan lokal” dari “pusat” tersebut menghambat pengaktifan sistem simpatikoadrenomedularis (aktivitas kelenjar medula adrenalis yang dikendalikan oleh saraf simpatik) dan menghambat pengaktifan kelenjar thiroid (menghasilkan hormon thiroksin), yang biasanya terjadi selama cekaman dingin. Sebaliknya, pendinginan lokal dari pusat tersebut menyebabkan pengaktifan sistem simpatikoadrenomedularis dan meningkatkan sekresi hormon thiroksin. Dengan demikian, terbukti bahwa perubahan temperatur tubuh bagian dalam dapat mempengaruhi mekanisme pengaturan panas oleh saraf dan oleh hormon dengan mengubah aktivitas thermodetektor pusat pada hipotalamus anterior.

Berikut ini disajikan skema rangkuman mekanisme pengaturan temperatur tubuh. Skema pertama memperlihatkan bagaimana peningkatan temperatur tubuh di atas normal (hiperthermia) dapat mengatasi pengaruh pengaturan panas karena pendinginan perifer melalui pengaturan pada pusat pengatur panas di hipotalamus. Skema kedua memperlihatkan pengaruh yang sebaliknya dari temperatur tubuh yang lebih rendah dari normal (hipothermia).

S

Mekanisme Kehilangan Panas

- vasodilatasi kulit

- berkeringat dan terengah-engah

kema 1:




Hiperthermia

Pusat” thermo regulasi

Mekanisme Neuromuskuler

Mengatasi Dingin

- vasokonstriksi kulit

- menggigil


Pendinginan Luar

reseptor dingin perifer




Mekanisme Hormonal Mengatasi Dingin

- sekresi hormon adrenalin, thiroksin, dll



Mekanisme Kehilangan Panas

- vasodilatasi kulit

- berkeringat dan terengah-engah

Skema 2



Hipothermia

Pusat Thermo regulasi

Mekanisme Neuromuskuler

Mengatasi Dingin

-VAsokonstriksi kulit

- menggigil

Pemanasan Luar

Reseptor Hangat Perifer





Mekanisme Hormonal Mengatasi Dingin

- sekresi hormon adrenalin, dst





D. HIPOTHERMIA

Hipothermia merupakan keadaan menurunnya temperatur bagian dalam tubuh sampai di bawah normal pada binatang homeotherm yang tidak mampu melakukan hibernasi. Di alam bebas, hipothermia biasanya terjadi secara perlahan yang disebabkan oleh payahnya (atau menurunnya) mekanisme metabolisme untuk melawan dingin. Aktivitas menggigil yang berlangsung dalam jangka waktu lama menyebabkan habisnya cadangan glikogen yang terdapat pada otot rangka dan hati, dan juga menurunnya kandungan glikogen otot jantung.

Bersamaan dengan menurunnya temperatur bagian dalam tubuh, terjadi pula penurunan secara berangsur-angsur denyut jantung dan perpindahan cairan dari darah ke jaringan. Level temperatur tubuh yang rendah mematikan beragam antara satu spesies dengan spesies lainnya dan antara individu dalam spesies yang sama. Pada manusia dan anjing, misalnya, terhentinya denyut jantung yang disertai oleh tertekannya pernapasan dan selanjutnya terjadinya kematian biasanya terjadi pada temperatur rektal sekitar 25oC. Karena terjadi penurunan metabolisme otak, pengaruh hipothermia terhadap mental diamati pada manusia ketika temperatur rektalnya menurun sampai 35oC. Untuk anjing dan kucing, kesadarannya akan hilang pada temperatur rektal sekitar 26oC. Bahaya utama yang biasanya dihadapi pada keadaan hipothermia (temperatur luar di bawah 0oC) adalah terbentuknya kristal es pada jaringan. Pembentukan kristal es secara ekstensif akan dapat merusak jaringan karena mengalami dehidrasi. Rusaknya jaringan pada giliran berikutnya dapat menyebabkan kematian.


E. DEMAM

Demam dapat didefinisikan sebagai setiap kondisi keseimbangan panas positif yang tidak sepenuhnya disebabkan oleh makanan, latihan, atau lingkungan. Pada waktu demam, terjadi penimbunan panas di dalam tubuh dan temperatur tubuh meningkat secara tajam atau tubuh dikatakan mengalami hiperthermia. Terjadinya keseimbangan panas yang positif itu disebabkan oleh menurunnya aktivitas pengeluaran panas karena terjadi vasokonstriksi kulit dan oleh meningkatnya aktivitas produksi panas. Selanjutnya, ketika temperatur tubuh mencapai level tertentu, keseimbangan antara panas yang hilang dan panas yang dihasilkan akan pulih kembali dan temperatur tubuh kembali diatur secara tepat pada level baru yang lebih tinggi itu. Itu berarti bahwa titik setel thermostat (pengatur temperatur) pada hipotalamus berubah ke titik yang lebih tinggi dari yang normalnya.

Pada level yang baru itu, masih mungkin terjadi peningkatan produksi produksi panas, tetapi itu kurang penting artinya bagi peningkatan temperatur tubuh karena kecepatan reaksi mengikuti hukum van’t Hoff; kecepatan reaksi meningkat 2-3 kali dengan meningkatnya temperatur 10oC. Karena itu, peningkatan temperatur tubuh 1oC sapat meningkatkan metabolisme basal 10-20%. Pada manusia, peningkatan temperatur tubuh 1oC meningkatkan laju metabolisme sampai 13%. Dengan demikian, laju metabolisme yang meningkat selama terus berlangsungnya demam lebih banyak merupakan hasil ketimbang penyebab dari temperatur yang tinggi. Dengan berhentinya demam, berbagai mekanisme kehilangan panas menjadi aktif dan keseimbangan panas pulih kembali ke level normal.

Penyebab dan mekanisme terjadinya demam telah dipelajari secara ekstensif. Bakteri telah diketahui dapat menghasilkan endotoksin. Endotoksin itu merupakan senyawa pirogen (penyebab demam) yang mendorong timbulnya respon demam. Seperti yang telah diketahui, peningkatan temperatur mempercepat laju metabolisme dari semua sel sampai ke titik tidak memadainya lagi pasokan oksigen untuk metabolisme. Dengan demikian, terjadi keadaan anoksia (kekurangan oksigen). Sel otak sangat sensitif dengan keadaan kekurangan oksigen itu. Dan memberikan respon pertama kali dengan meningkatkan inervasinya sehingga terjadi konvulsi atau kejang otot. Bila hiperthermia itu terus berlangsung, sel akan berdegenerasi dan mati.

Sejumlah obat-obatan yang dikenal sebagai antipiretik bekerja melawan pengaruh pirogen pada hipotalamus. Dengan cepat obat-obatan seperti misalnya aspirin (asam asetilsalisilat) dapat menurunkan temperatur tubuh sampai ke level normal. Obat-obatan tersebut dapat mengembalikan thermostat hipotalamus ke level normal yang lebih rendah daripada level pada saat demam. Pada saat itu, mekanisme kehilangan panas akan bekerja secara efektif untuk mengeluarkan panas yang berlebihan itu sehingga temperatur tubuh kembali ke level normal. Cobalah perhatikan bagaimana pasien demam setelah diberi obat keringatnya mengucur deras dan terjadi kehilangan panas secara efektif.


F. KESIMPULAN

Homeostasis dalam temperatur tubuh dapat dicapai bila perolehan panas yang meliputi produksi panas metabolisme dan panas yang diterima dari lingkungan luar sama atau sebanding dengan panas yang hilang ke luar tubuh. Mekanisme pengaturan panas (thermoregulasi) pada hewan vertebrata tingkat lebih tinggi (unggas dan mamalia) utamanya melibatkan penyesuaian fisiologi. Berbagai penyesuaian fisiologi yang berlangsung untuk mengatasi cekaman luar yang dingin atau panas pada hakikatnya menyangkut meningkat atau menurunnya produksi panas metabolisme serta meningkat atau menurunya penahan (atau retensi) panas yang dihasilkan itu dalam tubuh.

Kehilangan panas tubuh ke lingkungan luar terjadi melalui konduksi, konveksi, radiasi, dan evaporasi. Namun, bila temperatur lingkungan lebih tinggi ketimbang temperatur tubuh, hewan tersebut menerima panas dari lingkungan melalui konduksi, konveksi, atau radiasi. Di lain pihak, evaporasi selalu terkait dengan kehilangan panas ke luar tubuh.

Pusat pengaturan temperatur tubuh berada di bagian otak hipotalamus. Rangsangan temperatur luar (dingin atau panas) yang diterima oleh thermoreseptor perifer diteruskan lewat saraf ke thermodetektor pusat di hipotalamus. Pada giliran berikut, pusat memberikan respon melalui berbagai aktivitas tubuh yang dapat meningkatkan produksi dan retensi panas (bila temperatur luar dingin) atau dengan menekan produksi panas dan meningkatkan kehilangan panas bila temperatur luar tinggi (panas).


Custom Search
 
task